Bu Ratih menginginkan sesuatu yang lebih, sudah menjadi kodratnya bila manusia itu belum puas dengan apa yang sudah dimilikinya. Manusia itu tidak memiliki keseimbangan yang dimiliki oleh alam. Sifat serakah itu sudah ada sejak penciptaan Adam, dan semua anak cucunya mewarisi sifat itu semua.
Beberapa orang dari partai kerap sekali datang, Bu Ratih menyambut dengan gembira. Bu Ratih merancang sebuah rencana, suaminya akan dipasang beserta seorang lagi dari kota. Mereka menganggap pak Bram memiliki sumber daya yang cukup, dia lumayan berpengaruh di desa dan sekitarnya. Tentu akan lebih mudah untuk mencari suara, juga pak Bram memiliki kekayaan melimpah. Jadi tidak akan sulit apabila dia memerlukan dana kampanye agar semakin dikenal oleh warga.
Pak Bram sebenarnya menolak, dia sudah merasa cukup bahagia dengan kehidupannya yang sekarang. Dengan istrinya yang masih juga jelita, beserta keempat anaknya yang semakin lama tampak semakin pintar. Tapi kemauan istrinya seperti tidak bisa dicegah. Menurut istrinya, manusia yang Mulyo itu tidak hanya membutuhkan harta, tapi juga tahta, sedangkan untuk wanita, Bu Ratih akan berdiri tegap di sampingnya, mendukung dan membantunya.
Langkah pertama yang harus pak Bram lakukan adalah, mendatangi putri bungsunya dan meminta bantuan. Sudah hampir dua tahun pak Bram tidak mengunjunginya. Pak Bram tidak seperti Bu Ratih, dia adalah sosok yang lebih lembut. Menemui makhluk seperti Mirah dan mbok Rasmi jelas rasanya ada tekanan. Meski pak Bram tahu kalau mereka berdua tidak akan menyakitinya. Mereka hanya memakan bayi.
Pak Bram membuka pintu dengan gemetar. Begitu pintu terbuka perut pak Bram terasa bergejolak. Rumah kecil ini seperti sebuah kandang, yang meski lumayan bersih namun hawa dingin juga aroma sesuatu yang lain ini membuat pak Bram hampir pingsan. Debu tebal terlihat menyelimuti beberapa perabot juga lantai. Sesekali pak Bram berusaha mengingat, ini bukanlah rumah manusia. Pak Bram kembali melangkahkan kaki masuk lebih dalam, yang mana aroma anyir amis semakin tercium bercampur dengan aroma bangkai.
Pak Bram memejamkan mata sebelum membuka pintu kamar putri bungsunya, berdoa berharap semua baik-baik saja. Tapi kepada siapa dia berdoa, sementara dia sekarang telah jauh dari penerangan cahaya ilahi. Mereka sedang menghamba kepada syetan, berbuat syirik dengan memohon bantuan bukan kepada Tuhan yang maha esa.
Pak Bram menahan lagi gejolak di perutnya, indera penciumannya semakin di penuhi oleh aroma yang tidak manusiawi. Sementara di bawah ada sebuah makhluk tambun yang memakai pakaian adat Jawa, namun tubuhnya lebih tidak mirip dengan manusia. Pak Bram tidak yakin, entah celeng entah anjing. Dia tampak menyeramkan, meski biasanya dia disebut dengan panggilan yang sangat manusia. Mbok Rasmi.
Sementara di dekat jendela yang gordennya terbuka lebar, sesosok gadis kecil tampak menggendong sebuah boneka kayu. Rambutnya hitam legam juga cantik. Tangan itu memiliki jari dan kuku yang panjang. Tubuhnya kecil, salah satu kakinya cacat lunglai. Sehingga dia tidak akan pernah bisa berdiri dengan tegak, dan berjalan pun dia harus menyeret kakinya.
Dari cahaya yang dihasilkan oleh api lilin yang meliuk indah, temaram itu sedikit memperjelas penampilan wajah si anak bungsu. Kulit yang memucat membungkus tubuhnya. Melihat ayahnya datang, raut wajah bahagia Mirah segera tampak. Mata kecil khas anak-anak, dengan telinga yang tidak biasa. Hidung Mirah mancung terlihat pas dan tidak aneh. Satu-satunya yang menyeramkan dari wajahnya adalah bibirnya. Bibir itu lebar hingga ke pipi, ketika dia menyeringai, segera tampak gigi kecil yang runcing seperti mata pisau.
" Bapak...!" Pekik Mirah bahagia melihat siapa yang datang, berapa lama dia memendam rindu kepada sosok bapaknya ini. Yang mengunjunginya selalu saja ibu, berapa puluh purnama bapaknya tidak pernah datang. Rindu di hati Mirah membuncah menggelora, terkadang dia iri dengan mas Bagas dan adik-adiknya. Mereka bisa setiap saat bertemu dengan bapak ibunya, Mirah sendirian yang terasing.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bungsu
Horror- on hold - Nyari tumbal susah 🤧 ___________________________ Suara tawa canda anak yang lain terdengar jelas, sekali lagi aku cuma bisa mendengarnya. Katanya mereka adalah kakak-kakakku, setidaknya itu yang dikatakan oleh ibu. Aku cuma bisa meliha...