[ SERGIO - 26 ]

20.4K 1K 43
                                    

Sergio menopang tubuhnya di dinding pembatas lantai dua sekolahnya. Mata tajamnya meliar, menatap bangunan-bangunan sekolah dari atas sini.

Di lapangan, kelas XII IPA C tengah melakukan pemanasan berupa lari keliling lapangan sebanyak lima kali.

Dan ya~ ia bisa mendapati sosok kekasih tercintanya tengah berlari berdampingan dengan Kinanti.

Terlihat riang dan bahagia. Jantungnya berdegup kencang, gadisnya sangat cantik dan sempurna. Berlebihan memang, namun itu sebuah realitas yang tak bisa Sergio sangkal.

“Cantik,” celetuk seseorang yang tak diundang. Sergio menolehkan kepalanya, lantas mengangkat alis mendapati Reino menatap kebawah dimana lapangan outdoor sedang digunakan untuk pemanasan.

“Emang,” balas Sergio pelan. Ia kembali memperhatikan Grace yang saat ini sudah berhenti berlari dan mencepol rambutnya tinggi-tinggi.

Reino menggeram, begitupun dengan Sergio. Geraman Sergio jauh lebih mengerikan karena pemuda itu mencengkram besi pembatas kuat-kuat hingga kepalan tangannya memutih.

“GRACE!” Teriakan Kinanti bisa Sergio dengar dari atas sini. Gadis bermulut pedas itu melepaskan cepolan rambut Grace dengan bibir mencebik.

Entah apa yang kedua gadis itu bicarakan, namun Sergio bisa melihat jika pada akhirnya Grace mendesah pasrah.

Reino menghela napas dan berbalik memunggungi dinding pembatas yang hanya sebatas pinggangnya.

“Gue bisa khilaf kalo doi gitu terus,” ungkapnya pelan.

Sergio menatap sahabatnya itu tajam, “Jangan macem-macem,” ancamnya. “Awas lo!”

“Pinjemin buat gue bentar, boleh, ya?” Reino menatap sendu Sergio yang saat ini membuang muka. “Sebentar aja, Yo. Gue janji nggak macem-macem. Lo juga tau kan kalo—”

“Nggak,” potong Sergio cepat. “Nggak boleh,” imbuhnya dengan satu kali tarikan napas.

Reino kembali membalikan badannya menatap lapangan. Tatapannya berubah sedih, namun dengan cepat ia menundukan kepalanya.

Please. Kali ini aja, masa gue harus nyari kesalahan lo dulu,” gumamnya dengan kepala tertunduk dalam. “Sebentar aja, Yo.”

Sergio tetap menggeleng tegas, tatapannya menajam. Suara bising dari lapangan sungguh mengganggunya.

Reino menarik napas panjang, ia mulai berubah menjadi Reino yang keras dan tak punya belas kasih pada lawan bicara.

“Pelit!” seru Reino menepuk bahu Sergio keras. Namun Sergio tak meringis ataupun mengaduh kesakitan.

“Gue pasti punya kesempatan. Pasti!” Reino menajamkan penglihatannya, menatap area lapangan luas. Lebih tepatnya, pada seseorang.

Sergio membenci tatapan Reino. Tatapan penuh damba dan kasih sayang. Tatapan memuja yang membuatnya gila akan pikiran buruk. Tatapan cinta yang— miris.

***

Kinanti menjatuhkan badannya di matras, Ghani tampak datang dari arah gedung selatan membawa dua botol air mineral.

“Nih, Yang. Minum dulu,” ucapnya seraya mengulurkan satu botol yang sudah dibuka kepada Kinanti. Gadis itu menyambutnya.

“Buat lo.”

Grace tersenyum dan mengucapkan terima kasih untuk Ghani yang sudah membelikannya air mineral. Ia ikut mendudukan diri di samping Kinanti.

SERGIO Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang