“Gio, please!”
Sedari tadi, Grace memohon kepada Sergio untuk mengizinkannya bekerja. Ini sudah tiga hari semenjak pertama kali Grace meminta izin kepada Sergio. Kali ini, ia harus berhasil.
Sebenarnya, uang tabungan yang ayahnya tinggalkan masih bisa menghidupinya dan Arion. Namun, untuk masuk perguruan tinggi sepertinya tidak akan cukup. Arion sendiri sudah mendapat penghasilan dari toko distro yang dibangunnya bersama Gevan dan Haykal. Tak seberapa, tapi lumayan.
“Enggak,” balas Sergio, ia tetap bermain games di ponselnya. Membiarkan Grace memeluk lengannya dari samping.
Saat ini, mereka berada di ruang tamu kediaman Grace. Arion, pemuda itu masih berkeliaran di luar sana. Mungkin, mengurus toko distro yang akhir-akhir ini semakin ramai.
“Ini demi kebaikan aku, Sergio. Arion juga. Aku nggak mau Arion kerja keras banting tulang buat biayain aku,” gumam Grace, ia mengeratkan pelukannya pada lengan kanan Sergio.
Sergio membuang ponselnya sembarangan, matanya melirik sekilas pada Grace yang tengah mengerjap menatap ponsel malang yang tergeletak di karpet berbulu warna marun itu.
“Enggak pokoknya, aku yang bakal biayain semua kebutuhan kamu,” putusnya, Sergio takut Grace akan kelelahan bekerja dan jatuh sakit. Tidak, jika itu terjadi bukan hanya Grace yang sakit. Dirinya juga akan merasa sakit.
“Kali ini aja,” lirih gadis itu. Ia menunduk dalam-dalam. Menjauhkan diri dari Sergio yang menarik napas.
Jari tangan Grace saling meremat, takut Sergio akan mengamuk saat emosi pemuda itu tidak stabil.
“Sayang, aku takut kamu kecapekan,” ungkap Sergio, pemuda itu tampak merangkul mesra bahu Gracera.
“Dan macem-macem,” lanjutnya diiringi geraman pelan. Grace tampak terkejut. Ia menggeleng tak percaya, apa katanya? Macam-macam? Melirik pria lain saja ia merasa was-was. Apalagi, macam-macam.
“Enggak, aku nggak akan macem-macem. Janji.” Grace mendesah lesu. Tampaknya, memang tak ada harapan untuk ia bekerja. Tapi ia tak akan menyerah. Ia yakin, lama-kelamaan hati batu Sergio akan mencair.
“Hm.”
Pemuda itu hanya bergumam, ia mengecup puncak kepala Grace berkali-kali. Menyalurkan rasa sayangnya pada gadis itu.
“Boleh, ya?”
Mata Grace tampak berair, ia mendongak menatap Sergio. Mata mereka bertemu. Berjalan panjang menuju lorong kegelapan di mata Sergio. Grace melihatnya, kegelapan dalam diri Sergio yang misterius.
“Sergio, aku cuma kerja lima jam,” lirihnya. Tak sanggup lagi mendengar penolakan untuk kesekian kalinya dari bibir kekasih tampannya.
Namun, hal lain tak terduga. Sergio mengecup pipi kiri Grace singkat. Lalu berbisik di telinganya.
“Boleh.”
Grace mengerjap, tak mengerti apa yang baru saja terucap dari bibir Sergio. Ia menatap Sergio, pemuda itu menatapnya serius. Lama-lama, Sergio mencengkram bahu kecil Gracera.
“Tapi—” Sergio menyeringai, menggantung ucapannya yang sudah berada di ujung lidah.
“Biarin aku beli kafe itu.”
Pupil mata Grace membulat sempurnya. Apa-apaan ini? Membeli sebuah cafe bukanlah hal yang mudah. Lalu, kekasihnya ini dengan gampangnya berbicara soal beli-membeli.
“Nggak, aku nggak setuju,” kata Grace tak habis pikir.
Senyum di bibir pemuda itu kian melebar. Membentang dari sudut kiri hingga kanan. Membentuk senyum manis yang memesona.
KAMU SEDANG MEMBACA
SERGIO
Teen Fiction[ ENDING ] Namanya Sergio Rejandra. Pemuda yang amat sangat mencintai sosok Gracera Angeline dalam hidupnya. Rasa cintanya yang besar, semakin membuatnya jatuh terobsesi untuk memiliki gadis itu sepenuhnya. Grace sendiri pun tak tau, hidup menjadi k...