“Arghh.”
Sergio memukul tembok di hadapannya membabi buta, bibirnya tak berhenti berteriak dan mengumpat. Darah yang mengalir deras dari buku-buku tangannya tak membuat ia berhenti.
Keringat membanjiri pelipis dan rambutnya. Selama ini, ia sudah berusaha keras untuk berubah. Nyatanya, itu tak berhasil. Jiwa liar dalam dirinya memberontak kuat. Mengalirkan getaran aneh setiap kali mendengar jeritan seseorang.
Bukankah seharusnya Grace bersyukur memiliki kekasih sepertinya? Bukankah seharusnya Grace menuruti apa semua perintahnya?
Bagaimana bisa Grace dengan berani keluar rumah tanpa seizinnya. Bukan apa-apa, ia hanya takut Grace sampai terluka ataupun berbuat macam-macam di belakangnya. Meski hati kecilnya selalu bergumam kalau Grace adalah gadis baik-baik.
Egonya terlalu tinggi, tak ingin Grace meninggalkannya. Ia terlalu takut untuk kehilangan Grace, gadis itu adalah hidupnya. Tanpa Grace, mungkin ia tidak akan baik-baik saja. Lebay memang, namun itulah kenyataannya.
Sialan, bahkan ia sekarang menjadi pecundang seperti ini.
Grace, ia membenci gadis itu. Gadis yang sudah membuatnya jatuh cinta dalam satu kedipan mata. Seharusnya, ia tak begitu mencintai Grace. Grace membawanya kedalam lorong gelap tak berujung atas nama cinta.
“Woi!”
Sergio sontak menoleh, mendelik sinis saat melihat kedatangan kedua teman karibnya, Reino dan Zaydan.
Zaydan menilik mimik wajah Sergio yang saat ini kembali menunduk, dengan nafas tak beraturan. Sedangkan Reino, ia lebih memilih mengedarkan pandangannya ke segala penjuru satu dari sekian banyak apartment yang Sergio sewa.
“Berengsek.”
Sergio kembali memukul tembok di hadapannya saat pikirannya tak menemukan sedikitpun solusi. Di sisi lain, ia khawatir akan keadaan Grace yang saat ini masih berada di salah satu apartment miliknya. Namun di sisi lain lagi, ia merasa harus menghukum gadis itu.
“Fvck!” umpat Zaydan saat Reino memukul lengan bahunya keras. Ia menoleh sinis menatap Reino yang mengedikan bahu acuh.
“Ngapain sih lo, nggak jelas banget,” cibir Zaydan, kesal rasanya dikerjai oleh Reino si jenius itu. Ah, Sergio lebih jenius, menurut sudut pandang dirinya. Tapi, otak Sergio itu lebih picik dan egois.
“Bego lo, tenangin tuh,” balas Reino malas. Ia melirik sekilas kearah Sergio yang tengah menghancurkan seluruh barang yang ada.
Zaydan bergidik, betapa mengerikannya Sergio saat mengamuk seperti itu. ”Ogah, lo aja sono.”
Tidak main-main, Sergio menghancurkan vas bunga pemberian Amora beberapa hari lalu. Zaydan meringis, dalam hati ia menangisi vas bunga cantik berharga selangit itu. Bukan, bukan Amora yang membelikannya. Tapi Wina, ibu tiri Sergio.
Reino memasang earphone ke telinganya, bibirnya berdecak malas. “Lo tau sendiri, Dan. Kalo lo nggak tenangin Sergio, bisa-bisa lo yang jadi samsak dadakan,” gumamnya.
Sergio mengusap wajahnya lelah, ia mengambil satu-satunya barang yang terisa di nakas samping ranjangnya. Bingkai foto. Disana terdapat potret seorang gadis cantik dengan gaun putih yang indah.
KAMU SEDANG MEMBACA
SERGIO
Teen Fiction[ ENDING ] Namanya Sergio Rejandra. Pemuda yang amat sangat mencintai sosok Gracera Angeline dalam hidupnya. Rasa cintanya yang besar, semakin membuatnya jatuh terobsesi untuk memiliki gadis itu sepenuhnya. Grace sendiri pun tak tau, hidup menjadi k...