Part 16

561 53 1
                                    

Ada banyak hal yang menyakitkan didunia ini. Namun ada banyak pula jutaan alasan yang akan membuatmu tersenyum dan merasakan apa yang dinamakan keindahan dunia dalam hidup.

Dibalik cahaya yang terang pasti akan ada sebuah sudut dimana tempat itu tak mendapatkan cahayanya. Dan begitu pula sebaliknya, Di tempat yang gelap pun terkadang hanya ada satu setitik cahaya. 

Entah manusia ingin memilih yang mana? Menjalani hidup dengan sejuta kebahagiaan dan cinta? Atau menjalani hidup dengan sejuta keterpurukan yang menghiasi bayangan dan setiap langkahnya? Yang membuat manusia ragu untuk meninggalkan masa lalu dan menapaki jalan yang haus akan cinta meski dengan cara yang terpuruk sekalipun.

Semua orang memiliki rasa sakitnya masing-masing. Memiliki luka hatinya tersendiri. Semua orang  punya banyak cara untuk mengatasinya dan menyembuhkan luka itu. Namun ada pula yang membutuhkan dorongan untuk menyembuhkan lukanya.

Ada yang punya tempat untuk berkeluh kesah. Ada juga yang memilih untuk bungkam. Menyimpan semua isi fikirannya dalam benak. Tanpa tahu jika apa yang terus tersimpan akan menjadi malapetaka yang entah kapan akan menjadi boom merang untuk diri sendiri.

Terkadang tak semua orang siap untuk mendengar dan berfikir jika tak hanya kau yang menderita didunia ini. Hei ayolah! Semua orang pasti punya derita. Ya memang seperti itu.

Hana menjalani kehidupannya dengan memasng topeng yang selalu menghiasi wajahnya. Sampai ia lupa bagaimana caranya mengekspresikan lukanya saat ia begitu terhanyut dalam senyuman manis yang ia buat untuk dirinya sendiri dan didepan orang lain.

Sejak kecil ia selalu iri saat melihat anak-anak lain memadu kasih kepada kedua orangtuanya yang lengkap. Dan bertanya mengapa sang Ayah tak pernah menunjukkan ibunya. Katanya ibunya adalah seorang peri yang sedang menjaganya selama ini. Namun ia tak bisa melihatnya. Apa benar ya?

Suara monitor detak jantung menghiasi rungunya. Menatap langi-langit dinding bercat putih. Aroma khas obat-obatan menyeruak masuk kedalam indra penciumannya. Gadis itu pun memandang kearah sekitarnya. Menatap seorang lelaki yang duduk didekat ranjangnya. Menatapnya dengan tatapan senang setelah ia membuka kedua matanya.

“Noona kau sudah sadar?.”

Gadis itu hanya bisa terbaring lemah. Tubuhnya terasa sangat sulit untuk digerakkan. Bibirnya terasa sulit untuk terbuka.

Lelaki itu beranjak dengan tergesa berlari keluar memanggil seorang dokter. Untuk memeriksanya.

Pandangannya menoleh kearah langit malam diluar sana.
Melihat sang rembulan dengan taburan bintang yang terlihat begitu kerlap-kerlip tengah menerangi bumi diatas sana.

Gadis itu hanya bisa terdiam termenung dengan jutaan fikiran yang bermunculan dalam benaknya.

Padahal Hana yakin jika ia sudah meregang nyawa. Namun sepertinya semesta tak mengijinkannya untuk pergi. Membiarkan perasaannya tersakiti lagi. Menyiksa jiwa maupun raganya.
Atau menyuruhnya untuk berpamitan terlebih dahulu untuk orang-orang terkasih? Entah harus merasa bersyukur atau merasa sedih. Ia hanya diberi kesempatan.

Hana tak bisa membayangkan wajah sang Ayah yang akan menghampirinya.

Dan satu hal lagi yang muncul dalam fikirannya. Sang ibu?
Apa yang dirasakan wanita paruh baya itu sekarang?

Setelah dokter memeriksanya dan berbicara tentang kondisinya diluar ruangan bersama sang Ayah. Hana menatap adiknya yang menggenggam tangannya. Memberikan kehangatan pada kulitnya. “Noona... aku senang akhirnya Noona terbangun. Kau tak boleh pergi Noona. Bukannya Noona sudah berjanji setelah aku lulus SMA Noona akan datang ke acara kelulusanku dan memberikanku sebucket bunga. Noona tak boleh ingkar janji. Aku takut kehilangan Noona.”

[M] SORRY.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang