Sudah beberapa hari Argan tidak pulang ke rumah. Ia beralasan ingin belajar bersama di rumah Andre. Belajar sendiri membosankan, katanya kepada Oma. Bukan Argan namanya jika tidak jago bermain kata. Alhasil Oma menurut saja jika itu demi kebaikan.
Argan sadar membohongi orang tua pasti akan dibalas karma. Entah cepat atau lambat. Namun tidak ada pilihan lain. Jika ia mengatakan apa adanya, pasti Oma akan semakin mencemaskan Rafa. Argan tidak ingin kondisi kesehatan Oma menurun karena itu. Pun Rafa pasti tidak ingin Oma turut mencemaskannya.
Argan keluar dari toilet rumah sakit. Di sanalah ia bersembunyi agar tidak diusir oleh satpam rumah sakit karena jam besuk sudah berakhir. Tidak hanya di sekolah, di rumah sakit pun Argan masih hobi melanggar aturan. Untungnya di sini tidak ada Bu Bertha, sang guru BK yang selalu mengurusi keonaran Argan.
Argan melenggang dengan jaket cokelat membalut tubuhnya yang masih berseragam SMA. Lorong rumah sakit sudah sepi. Jam tangannya menunjukkan pukul 10 lebih 25 menit. Malam sudah larut.
Mamanya Rafa pasti udah pulang dari tadi. Batinnya memastikan keadaan akan aman-aman saja.
Benar, tidak ada siapa-siapa di depan ruang rawat Rafa. Argan bisa menjenguk Rafa malam ini. Ia mengetuk pelan daun pintu. Setelah memastikan tidak ada yang menyahut dari dalam, akhirnya ia memutuskan untuk masuk.
Mata Argan membelalak mendapati seseorang dengan air muka cemas menatap sekilas ke arahnya. Seperti orang hendak bersembunyi namun terlanjur tertangkap basah.
"WOI!" Teriak Argan membuat laki-laki bertopi itu tanpa sengaja menjatuhkan jarum suntik.
Argan masuk ke ruang rawat Rafa dengan pandangan terjurus pada laki-laki misterius itu. "MAU APA LO?!" Wajahnya berubah garang.
Laki-laki itu mulai hilang akal. Ia mendekati Rafa. Tangannya bersiap menyentuh alat bantu pernapasan yang terpasang di mulut gadis lemah itu. "Elo minggir atau cewek lo bakal mati?!" Ancamnya.
Langkah Argan tertahan. Ia terbius ancaman laki-laki bertopi itu. Argan tidak punya pilihan. Ia melihat Rafa dengan tatapan miris. "Berani elo nyakitin dia, gua bakal bikin elo gak bernapas lagi!" Tantang Argan dengan rahang mengeras. Kedua tangannya terkepal erat.
Laki-laki itu tersenyum sini. Berhasil, pikirnya. Ia berjalan menyusuri ranjang Rafa. Perlahan, ia menodongkan sebuah senjata tajam. "Minggir!"
"GUA GAK TAKUT!"
"ELO MINGGIR, ATAU..." Laki-laki itu menyibak selimut yang menutupi kaki layu Rafa. "GUA BIKIN DIA GAK BISA JALAN?!" Sebilah pisau bersiap menikam kaki Rafa.
Argan tertegun. "BANGS*T!"
"Berani elo teriak, pisau ini bakal bikin kaki cewek lo berdarah!" Ancam laki-laki itu lagi dengan suara redam.
Argan menepi. Memberi ruang bagi laki-laki licik itu untuk pergi.
Melihat peluang tersebut, lekas laki-laki itu melarikan diri. Namun seribu sayang, ia tanpa sengaja menabrak Darel yang hendak masuk. Keduanya bertubrukan hingga tubuh Darel terhuyung ke belakang.
"BRENGS*K!" umpat laki-laki itu sambil melayangkan tatapan elang ke arah Darel.
"KEJAR DIA REL!" Pekik Argan.
Tanpa aba-aba, Darel mengejar laki-laki yang sudah melesat jauh. Darel tidak paham apa yang terjadi. Melihat dari gerak gerik pria bertopi itu, ia yakin bahwa orang itu mempunyai niat buruk.
Argan memangkas jarak dengan ranjang, tempat tubuh Rafa bersemayam. "Ra? Lo baik-baik aja kan?" Ia mengusap puncak kepala Rafa.
Argan menggenggam erat tangannya sendiri. Ia menggigit bagian dalam bibir bawahnya. Menangis tanpa suara. Tanpa air mata. Semua penyesalahan baku hantam di dadanya. Argan memukul kepalanya berkali-kali. Ia mengeram dengan mata berkaca-kaca. "Bego! Gan, elo lagi-lagi gagal jagain Rafa!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Potret Rafa
Teen Fiction[Book 2] SEQUEL LENSA ARGAN #4 lensa 15.06.20 Kamu mengajariku cara melihat apa yang tidak ingin dilihat; melupa apa yang tidak ingin dilupa. Tentang kita yang ada, namun tiada.