"Gimana keadaan lo, Ra?"
"Alhamdulillah, udah mendingan. Kok kalian baru nengokin gue sekarang sih?!" Protes Rafa yang duduk bersandar bantal. Wajahnya masih pucat namun senyum manis yang terpatri memudarkan kondisinya yang sedang tidak baik itu.
Sherin membenarkan posisi kacamatanya. "Ya, kita nggak mau ganggu elo, Ra. Entar istirahat elo terganggu lagi. Elo kan dalam masa pemulihan."
"Bener, Ra." Manda mengangguk. "Elo bosen nggak sih di rumah aja?"
"Pake nanya. Ya bosenlah! Gue kangen sekolah, kangen seblak Bu De', kangen..." Kalimat Rafa terjeda.
"Kangen Argan, kan?" Goda Manda.
"Hush!" Sherin menampar lengan Manda. Ia mendekatkan wajahnya ke telinga Manda. "Elo lupa, Man? Kalo sampe Tante Luna denger, bisa gawat! Elo mau kondisi kesehatan Rafa memburuk?"
Diam-diam Rafa tersenyum. Pipinya berubah seperti tomat matang. Ia menatap dalam punggung tangan kirinya yang diinfus. Ucapan Manda membuat dirinya merasakan hal lain. Sesuatu yang sangat ia rindukan. Benar, sosok Argan.
Rafa bahkan tidak mengingat sudah berapa hari ia tidak bertemu dengan Argan. Momen terakhir yang masih melekat di ingatannya adalah saat ia berboncengan dengan Argan lalu berhenti di bahu jalan untuk membeli es krim dari gerobak tua. Setelah itu ia tidak ingat lagi kronologi kecelakaan yang menimpanya. Sampai suatu hari ia tersadar bahwa ia sudah berada di kamarnya. Apakah ia sempat dirawat di rumah sakit? Entahlah. Rafa tidak ingat itu.
"Man." Panggil Rafa. Ia meminta gadis itu duduk di dekatnya.
Manda yang semula duduk di tepi kasur beringsut mendekat. Air muka Manda mencerminkan kekhawatiran jika Rafa tiba-tiba menanyakan hal-hal rumit seputar Argan kepadanya. Apa yang harus Manda jawab?
"Elo emang paling tahu hati gue, deh!" Puji Rafa direspon senyum hambar Manda.
"Emang kenapa, Ra?"
"Ya, elo tahu siapa yang lagi gue kangenin."
Celaka! Apa yang ditakutkan benar-benar kejadian. Gue lagi-lagi keceplosan! Bego! Bego! Bego!
"Ra, elo tahu nggak? Anak-anak kelas pada rindu sama elo. Kapan elo udah bisa sekolah?" Sherin pandai membaca situasi. Ia pun mengalihkan pembicaraan.
Danke, Sherin! Elo emang malaikat penyelamat gue. Ucap Manda dalam hati.
"Gue juga kangen suasana kelas. Ya, tapi gimana. Gue belum pulih betul. Mama juga belum bolehin gue sekolah. Tapi, gue merasa udah sehat banget kok! Apalagi setelah kalian dateng buat jenguk gue."
"Ah, Ra. Elo bisa aja." Manda tersenyum. Ia merangkul bahu Rafa yang masih belum kokoh. "Gue janji bakal traktir elo makan seblak Bu De' kalo elo udah sembuh nanti. Oke!"
"Uwu baik banget!" Decak Rafa.
"Gue juga bakal traktir elo es mochi, Ra." Sherin tidak mau kalah.
"Elo apa-apaan sih, Sher?! Masa orang lagi sakit ditraktir es krim?!"
"Ye, kan gue bilang kalo Rafa udah sembuh. Udah sekolah lagi, gitu. Elo mah pms banget jadi cewek!" Sahut Sherin membela diri.
"Udah-udah! Berantem mulu!" Lerai Rafa. "Btw, kalian nggak bawa buah tangan apa buat gue?"
Manda dan Sherin saling menatap. Bagaimana bisa mereka lupa membawa buah tangan. Terlebih mereka hendak menjenguk seorang sahabat yang sedang sakit.
"Maaf, Ra. Kita buru-buru. Baru pulang sekolah, kita langsung ke sini." Sherin menunduk penuh sesal.
"Iya, Ra. Maaf ya." Imbuh Manda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Potret Rafa
Teen Fiction[Book 2] SEQUEL LENSA ARGAN #4 lensa 15.06.20 Kamu mengajariku cara melihat apa yang tidak ingin dilihat; melupa apa yang tidak ingin dilupa. Tentang kita yang ada, namun tiada.