"Darel."
Laki-laki yang sedang berdiri di balkon rumah sambil menyesap teh hangat itu menoleh. Ia tersenyum, "Ada apa, Tan?"
Tante Arum mendekat. Beliau berdiri di samping Darel dengan kedua tangan bertopang ke pagar besi balkon. "Si Argan masih nanyain Rafa gak selama di sekolah?"
Darel menyahut lesu, "Tidak, Tan."
Tante Arum menghela napas dengan mata terpicing. Ia membiarkan angin dingin sore ini merasuk ke liang hidungnya. Beliau kemudian memandangi cakrawala yang berganti kanvas menjadi oren. Di peraduan sana matahari pamit pulang. Begitu tenang atmosfer petang ini.
"Tante sebetulnya kasihan sama Argan. Dari yang Tante lihat, dia anaknya baik." Tante Arum tersenyum simpul. "Benar kan?"
Darel mengangguk. "Argan selalu berusaha untuk jagain Rafa, Tan."
"Kadang perbuatan baik jika dilakukan dengan cara yang salah, maka tetap akan dinilai salah." Tutur Tante Arum. "Argan dan Rafa tidak salah. Wajar remaja seusia kalian sedang pingin-pinginnya punya pacar, punya orang yang spesial, yang selalu ngingetin ini-itu."
Darel menyesap tehnya. Ia mendengarkan ucapan Tante Arum dengan saksama. Darel merasa saat ini ia sedang berbincang dengan sosok ibu yang sangat ia rindukan. Ia tidak pernah merasa kekurangan apapun setelah menjadi bagian di keluarga kecil Tante Arum.
Baginya, Tante Arum adalah sosok yang tenang dan tidak pernah marah. Beliau selalu menyelesaikan sesuatu dengan kepala dingin. Beliau juga tipikal orang yang memandang sesuatu dari berbagai sisi. Selalu mempertimbangkan baik dan buruk. Tidak pernah main hakim sendiri apalagi menuduh tanpa bukti.
"Seorang Ibu akan overprotektif pada anak perempuannya. Apalagi Rafa merupakan anak semata wayang. Tante Luna membesarkan Rafa seorang diri setelah suaminya meninggal. Wajar, sangat wajar jika Tante Luna bersikap seperti itu."
"Menjadikan anak gadis orang sebagai kekasih tanpa sepengetahuan ibunya sendiri, itu gak baik." Lanjut Tante Arum.
"Tapi Tan, Argan sudah berjuang sebegitu besar untuk Rafa. Kalaupun dia minta restu Tante Luna lebih dulu, pasti tidak akan diizinkan."
Tante Arum tersenyum simpul. Beliau mengangguk setuju. "Itulah tantangan untuk Argan. Gimana supaya dia bisa mendapatkan Rafa dengan cara yang benar, dengan restu seorang ibu."
"Hmm." Darel bertopang ke pagar besi. Ia memegang cangkir dengan kedua tangan. Udara cukup dingin. Darel melirik Tante Arum. Apakah wanita itu tidak merasakan dingin yang menusuk hingga ke tulang?
"Kadang mencintai seseorang butuh pengorbanan. Perkara bisa memiliki atau tidak, itu tidak jadi soal. Yang terpenting adalah mencintai dengan hati tanpa harus meminta imbalan apa-apa."
"Termasuk berharap bahwa dia juga mencintai kita, Tan?"
"Benar!" Tante Luna berdecak kagum. "Ternyata kamu cukup dewasa soal asmara ya?" Beliau terkekeh kecil.
"Bukan gitu, Tan. Darel cuma sedang suka baca buku sastra." Elak Darel tidak ingin Tante Arum berpikiran yang bukan-bukan.
Tante Arum melirik dengan tatapan penuh selidik. "Bener?"
"Iya, Tan."
"Sejauh apapun seseorang terpisah, kalau jodoh mah suatu saat bakal balik juga. Tapi kalau ternyata bukan, ya tidak apa-apa. Lagipula kalian masih muda, jangan terlalu serius tentang perasaan. Belum waktunya. Sekolah dulu yang bener." Pesan Tante Arum.
"Iya, Tan."
"Udah yuk, ke dalam! Dingin di sini." Tante Arum memeluk dirinya sendiri sambil mengusap-usap kedua lengannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Potret Rafa
Teen Fiction[Book 2] SEQUEL LENSA ARGAN #4 lensa 15.06.20 Kamu mengajariku cara melihat apa yang tidak ingin dilihat; melupa apa yang tidak ingin dilupa. Tentang kita yang ada, namun tiada.