1. Jadi Pelindungmu

327 26 4
                                    

"Maaf ya, gue baru bisa jenguk elo sekarang." Rafa menyendok bubur ayam dengan gerakan pelan. "Mama gak izinin gue keluar rumah pas elo dirawat di rumah sakit."

Argan tersenyum disela mulutnya yang berisi bubur ayam. "Gue ngerti kok. Sans aja kali."

Rafa meletakkan mangkuk putih itu di pangkuan. Matanya menatap Argan tanpa jeda. Laki-laki itu masih begitu lemah hari ini. "Lagian elo sih, gampang banget percaya sama Leo!" Rafa sedikit kecewa dengan tindakan Argan yang gegabah ini.

Rafa kembali menyendok bubur ayam itu namun dengan gerakan penuh emosi. Wajahnya cemberut. "Harusnya elo nelepon gue dulu, tanyain bener apa gak?! Padahal seharian gue di rumah aja, kan ada Mama. Mana mungkin gue diculik sama Leo?!"

Argan menyambut sendok berisi bubur ayam yang menjulang tinggi. Sesaat setelah makanan itu mendarat di papila lidahnya, Argan seperti mengabsen sesuatu di dalam mulut. "Kok ayamnya gak ada, Ra?"

"Argan! Gue serius!"

"Gue juga serius, Ra. Ayamnya gak ada." Argan menyapu deretan gigi putihnya dengan lidah.

Rafa meletakkan mangkuk di atas meja single di samping tempat tidur Argan. Ia merogoh saku jeans-nya lalu mulai menyibukkan diri dengan ponsel pintar di tangannya. Ia mengacuhkan Argan yang sejak tadi terus memperhatikannya. Rafa tidak peduli. Bodo amat! Lagipula Argan juga mengabaikan pembicaraan mereka.

Argan menghembuskan napas panjang lalu meraih mangkuk bubur ayamnya yang tinggal setengah. Dengan tenang, ia menyantap sarapannya tanpa bantuan siapapun. Pemandangan itu membuat mata Rafa terasa panas. Ia langsung merebut mangkuk itu dan kembali menyuapi Argan.

"Pokoknya elo harus jauh-jauh dari Leo!" tegas Rafa dengan sorot mata tajam.

Argan hanya mengangguk sambil berusaha menahan tawa. Semakin hari, sikap Rafa kepadanya semakin manis. Itulah yang membuatnya tidak ingin gadis yang paling ia sayangi itu mengalami hal buruk.

"Gue heran, kenapa si Leo itu masih aja gangguin elo padahal kan dia udah tamat dari SMA Cendikia?" Rafa melirik ke arah kanan atas. "Apa sih maunya?"

"Elo."

"Heh?" Dahi Rafa mengkerut. "Gue?"

Argan menyandar ke kepala dipan. Air muka Argan berubah serius. "Leo gak pernah suka liat gue bahagia. Dia bakal lakuin apapun untuk mengambil sumber bahagia gue."

"Elo terlalu berlebihan, Gan. Gue akan baik-baik aja kok. Lagian sampai detik ini, Leo gak pernah berbuat jahat ke gue."

"Belum, Ra." Argan menoleh ke arah jendela kaca di sisi kanan. Lama ia menjeda kalimatnya sebelum akhirnya kedua tangannya mengepal kuat. "Gue akan lindungi elo, Ra. Meskipun keselamatan gue jadi taruhannya."

Mendung di pelupuk yang sedari tadi Rafa tahan agar tidak jatuh akhirnya luruh juga. Pipinya basah. Ia mengelus kepalan tangan Argan membuat laki-laki itu melonggarkan tangannya. Jemari Rafa menyusup di sela jemari kekar Argan. Lima jari mereka saling bertautan.

Rafa menghapus kasar air matanya lantas tersenyum. Ditatapnya Argan dengan binar mata menenangkan. Akhirnya laki-laki dengan berjuta batu di kepala itu luluh. Argan mulai melunak.

"Elo harus sayang sama diri elo juga, Argan. Keluarga lo butuh elo." Rafa mengembuskan napas untuk meredam isak yang ingin meloloskan diri. "Keluarga adalah yang nomor satu."

Argan tidak paham bagaimana jalan pikiran Rafa. Bukankah Rafa sendiri yang menyadarkannya tentang cinta sejati. Lantas mengapa hari ini gadis itu berkata seolah-olah Argan harus memilih keluarga dan mau tidak mau merelakannya sewaktu-waktu. Tidak bisa. Argan tidak bisa memilih di antara dua hal yang sangat penting dalam hidupnya.

Potret RafaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang