Argan sudah lima menit berdiri di depan gerbang sekolah. Ia menjadi sorotan puluhan pasang mata. Bagaimana tidak, laki-laki itu tidak mengenakan seragam seperti yang dikenakan oleh siswa siswi yang baru pulang. Usut punya usut, Argan sudah beberapa hari tidak masuk sekolah.
Bukan lantaran sedang terkena influenza atau demam tinggi, Argan hanya tidak siap untuk pergi ke sekolah sementara Rafa masih terbaring di rumah sakit. Argan tidak peduli bahwa sekarang ia sudah duduk di kelas XII. Di kepalanya hanya sibuk memikirkan bagaimana keadaan Rafa di rumah sakit. Walau bagaimanapun Rafa kecelakaan saat bersamanya. Ah, perih rasanya mengingat kejadian itu.
Sosok Argan yang celingak-celinguk tidak jelas tertangkap oleh pandangan Andre, sang sahabat. Buru-buru laki-laki itu menghampiri Argan.
"Gan!" sapa Andre dengan wajah sumringah. "Udah lama gak ketemu elo, Bro!" ia merangkul Argan hangat.
Argan menyingkirkan tangan Andre dengan ekspresi gusar. "Elo liat Darel?" bukannya membalas sapaan Andre, Argan justru menanyakan kabar orang lain.
Andre terbelalak tidak percaya. Ia mengacak rambutnya asal. "Napa elo nanya tuh orang ke gue?!"
"Gue seriusan!" Argan menggaruk bagian belakang telinganya. Seakan paham dengan kegelisahan Argan, Andre langsung memberitahu bahwa Darel masih ada di kelas.
"Mau gue anter?" tawar Andre.
"Gak usah. Gue ke dalem sendiri aja." sebelum Argan berlalu, Andre menahan. "GUE BURU-BURU, NDRE!" Argan memberontak.
"Kalo guru tahu elo ke sekolah setelah bolos beberapa hari, gimana?!"
"Bodo amat."
"Gan! Elo jangan gegabah deh!"
"Elo lebai, Ndre! Ini kan udah jam pulang sekolah!" Argan melenggang tanpa mempedulikan kata-kata Andre.
Bel sekolah baru saja berdengung dan Argan dengan santainya masuk ke sekolah. Ia tidak peduli pandangan murid dan guru yang baru saja keluar kelas. Benar-benar nekat.
"ARGAN MAHESA!"
Suara melengking itu menembus gendang telinga Argan. Laki-laki itu terus berjalan, membelah koridor sekolah yang tidak sepi.
"HEI! YANG BERJAKET LEVI'S!" Nada bicara itu naik satu oktaf. Menggema ke setiap sudut koridor. Murid yang berlalu lalang segera menjauh, takut kena amukan sang guru killer, Bu Bertha.
Argan berhenti dengan malas. Ia menoleh ke arah ruang BK yang baru saja ia lewati. "Ibu kangen saya?"
"Kenapa kamu gak masuk sekolah tiga hari?!" Wanita paruh baya itu melipat kedua tangan di belakang badan. Alis beliau menukik tajam.
"Sakit, Buk." jawab Argan asal.
"Kenapa tidak ada surat keterangan dari dokter?"
"Saya gak dirawat di rumah sakit, Buk."
"Seenggaknya kamu kirim surat ke sekolah!"
"Saya udah nelepon Bu De'."
Bu Bertha berang. Ia merasa dipermainkan. "Bu De' siapa?!"
"Bu De' Kanbes Buk, itu loh yang jualan seblak." tutur Argan bernada datar. Tidak ketinggalan, ia memasang tampang tidak berdosa.
"KAMU JANGAN MAIN-MAIN SAMA SAYA, ARGAN! KAMU ITU HARUS TAHU ATURAN! KAMU SUDAH KELAS DUA BELAS!"
Argan memainkan lidahnya di dalam mulut. Mengabsen satu persatu giginya. Tampak sekali Argan tidak menyukai pembicaraan ini. Ralat! Bukan pembicaraan tetapi eksekusi mati bagi Argan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Potret Rafa
Teen Fiction[Book 2] SEQUEL LENSA ARGAN #4 lensa 15.06.20 Kamu mengajariku cara melihat apa yang tidak ingin dilihat; melupa apa yang tidak ingin dilupa. Tentang kita yang ada, namun tiada.