20. Perlahan Terungkap

95 9 3
                                    

Dua hari yang lalu, Argan mendapat kabar dari Darel bahwa Rafa kembali drop. Argan tidak diberi tahu apa alasannya. Hari ini, dengan alasan yang tidak ia ketahui pula, ia diminta untuk datang ke rumah Rafa. Ya, betul. Tante Luna sendirilah yang memintanya.

Sepanjang perjalanan yang ia tempuh bersama si merah, hati Argan benar-benar gelisah. Tidak pernah barang sekalipun, Tante Luna memintanya datang ke rumah. Bahkan ia kerap kali diusir saat berniat mendatangi Rafa.

Argan memacu kuda besinya tanpa mempedulikan lampu merah yang tengah menyala di simpang jalan. Nyaris, sebuah minibus menghantamnya dari arah yang berlawanan. Argan seolah sudah hilang akal dan rasa takut. Terdengar gila, memang. Untungnya, dewi fortuna masih berpihak padanya. Jika tidak, mungkin tubuhnya sudah dibawa ke rumah sakit karena luka parah akibat tabrakan.

Ia melambatkan laju si merah saat melihat Tante Luna duduk di kursi teras rumah dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Ada raut garang yang terpatri di wajah wanita empat puluhan itu. Argan memarkirkan motornya di luar pagar rumah.

Pagar rumah berbunyi minta diberi oli saat Argan membukanya. Bunyi itu direspon tegukan saliva oleh Tante Luna. Tidak ada pembicaraan sampai Argan tiba di teras rumah.

"Siang, Tan."

Ucapan salam itu dibiarkan menguap begitu saja ke udara. Wanita itu bangkit dan memberikan isyarat lewat gerakan kepala agar Argan mengikutinya.

Saat Argan menjejakkan kaki ke dalam rumah Rafa, ia merasakan ada hal yang lain. Untuk pertama kalinya, ia memasuki rumah ini tanpa tahu apa tujuan kedatangannya. Ia masih dipandu oleh Tante Luna sampai mereka berhenti di depan pintu kamar yang setengah terbuka.

Argan tahu persis wangi yang menyeruak dari dalam kamar. Itu wangi parfum yang biasa Rafa pakai. Lembut dan segar, sama seperti kepribadian gadis itu.

Sreet. Pintu kamar menganga. "Saya minta kalian selesaikan hari ini juga!" Nada bicara Tante Luna terdengar seperti perintah tak terbantahkan.

Argan mengangguk tipis lalu masuk ke dalam. Tante Luna masih mengawasi dari ambang pintu. Mana mungkin ia membiarkan seorang laki-laki masuk dengan lenggangnya ke kamar putri sematawayangnya itu.

Perlahan tapi pasti, Argan mendatangi Rafa yang sedang duduk bersandar ke kepala dipan. Mata sembab Rafa menatap nanar ke arah jendela yang dibiarkan terbuka. Rafa tampak pucat dengan lingkaran kehitaman di matanya.

Argan kini sudah berdiri tepat di depan Rafa, menghalangi cahaya matahari yang tadi menembus pupil mata Rafa. Pandangan Rafa menyorot laki-laki itu.

Rafa menoleh ke arah pintu. Tante Luna sudah pergi. "Mama udah cerita semuanya."

Argan mengangkat sebelah alis. Ia ingin bertanya apa maksud dari perkataan Rafa. Namun, niatnya itu berusaha ia tahan. Sepertinya akan memperburuk keadaan jika ia spontan bertanya.

Rafa membuang wajah ke arah lain agar air matanya tidak jatuh di hadapan Argan. Tapi sayang, bekas tangisnya itu mengalir di pipi kirinya tanpa permisi. Argan yang melihat pemandangan itu sangat terganggu. Ia benar-benar benci jika harus melihat Rafa menangis.

"Ra." Lirih Argan dan refleks maju selangkah.

"Jauh-jauh dari gue!"

Tubuh Argan menegang. "Kenapa, Ra?"

"Lo masih nanya kenapa?!"

"Gue nggak paham apa yang elo..." Argan menggeleng pelan.

"Karena kita," Rafa menggantung kalimatnya. "udah nggak ada apa-apa lagi!"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 13, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Potret RafaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang