Mentari masih malu-malu menampakkan diri pagi ini. Alhasil, udara terasa begitu dingin apalagi semalam hujan turun dengan derasnya. Dedaunan masih lembab. Lapangan basket yang biasanya ramai kini tidak berpenghuni. Mungkin para pemainnya sedang menikmati secangkir kopi di kanbes (kantin besar) sembari menunggu lapangan kering. Terlalu berbahaya bermain basket dengan kondisi lapangan seperti ini.
Darel dan Rafa berjalan bersisian. Sejak Rafa berpacaran dengan Argan, laki-laki itu memang tidak pernah berangkat sekolah bersama Rafa. Apalagi alasannya kalau bukan takut ketahuan Mama. Sebagai gantinya, Argan meminta Darel rutin menjemput Rafa.
"Cuma jemput cewek gue doang, gak lebih!" tutur Argan yang lebih mirip ancaman ketimbang permohonan.
Argan khawatir jika antek-antek musuhnya mengganggu Rafa sewaktu-waktu. Maka dari itu, ia terpaksa meminta bantuan Darel meskipun masih ada rasa cemburu yang menggelora di dada Argan. Takut jika laki-laki itu menyerobot di tikungan.
"Saya duluan." Pamit Darel berjalan lebih dulu menuju kelas.
"Oke."
Mereka tidak lagi sekelas seperti tahun pertama SMA. Rafa menempati kelas XI IPA 5, sedangkan Darel di XI IPA 6. Meskipun demikian, kelas mereka bersebelahan.
Baru saja menjejakkan kaki, Rafa sudah disambut oleh kehadiran Manda. Nyaris saja jantung Rafa copot sangking kagetnya.
"Ck! Bisa gak sih gak usah ngagetin gue pagi-pagi begini?!" omel Rafa. Hancur sudah mood-nya pagi ini.
Manda tidak menghiraukan perkataan Rafa. Masuk telinga kanan keluar telinga kiri. "Si Argan gimana?" gadis itu terus mengekor sampai Rafa mendaratkan bokongnya di kursi.
"Ra?" Manda duduk di depan meja Rafa. "Pacar lo gimana?"
"Alhamdulillah, udah baikan kok." Rafa tersenyum simpul. "Tumben banget nanyain Argan?" tanyanya penuh selidik.
"Ya elah!" Manda mengibaskan tangannya ke udara. "Emang gak boleh khawatirin pacar sahabat sendiri?"
"Boleh, asalkan gak pake perasaan."
Manda tertawa. "Ya kagak lah! Gue kan udah punya,..." kalimatnya terjeda. Manda tiba-tiba murung saat mengingat sosok Ali yang kini sudah berada sangat jauh darinya. Bukan hanya soal jarak, tapi juga hati. Usut punya usut, mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Andalas itu sedang dekat dengan teman satu fakultasnya.
Manda mencoba bersikap normal. "Btw hari ini Argan udah mulai sekolah?" ia mengalihkan pembicaraan.
Rafa mengangkat sebelah alis. "Gak deh kayaknya." jawab Rafa tidak yakin.
Sreeek!
Rafa bergidik saat sebuah telapak tangan mengacak rambutnya. Ia tersenyum. Aroma parfum ini sudah memberikan Rafa petunjuk tentang siapa yang baru saja datang.
"Unch-unch! Masih pagi udah diapelin aja. Tahu aja sekarang hari Senin." Manda gemas sendiri melihat Argan yang semakin memperlakukan Rafa begitu manis dari hari ke hari.
"Hubungannya?" Argan mengerutkan keningnya.
"Apel kan artinya upacara. Nah upacara kan setiap Senin."
"Apaan sih, Marmut? Garing banget!" Celetuk Argan.
Rafa membawa tangannya yang semula berada di samping tubuhnya ke atas kepala. Ia menyingkirkan tangan Argan yang terasa dingin. Rafa menatap Argan yang kini duduk di kursi kosong sebelahnya. "Kamu naik motor?"
Argan mengalihkan pandangan, pura-pura memperhatikan papan tulis yang belum dibersihkan. Sesekali ia bersiul merdu.
"Argan, kamu kan masih belum sembuh total. Kenapa gak diantar Kang Mamet aja?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Potret Rafa
Novela Juvenil[Book 2] SEQUEL LENSA ARGAN #4 lensa 15.06.20 Kamu mengajariku cara melihat apa yang tidak ingin dilihat; melupa apa yang tidak ingin dilupa. Tentang kita yang ada, namun tiada.