Ramai orang mengelilingi tubuh layu Rafa yang terkulai di tengah jalan. Darah mulai menggenangi aspal. Pejalan kaki sibuk mengambil gambar dengan ponsel pintar mereka, entah untuk bahan postingan atau mencari belas kasihan di dunia maya.
Pengendara yang tidak sengaja lewat memilih berhenti untuk menyaksikan kejadian naas itu. Si bapak tua penjual es krim di seberang jalan turut hadir. Andai saja beliau tahu bahwa korban kecelakaan itu adalah gadis yang hendak membeli es krimnya.
Tidak ada yang berani mendekat kecuali Argan. Padahal orang-orang sudah memperingatkannya agar jangan menyentuh korban sebelum polisi datang.
"Biar ditangani polisi, Dek." ujar seorang bapak berperawakan gondrong.
Beberapa orang menahan tubuh Argan. "Dek, jangan!"
"KALAU ISTRI BAPAK YANG KETABRAK, APA BAPAK CUMA DIAM AJA?!" Sarkas Argan sambil terus menggenggam tangan Rafa.
Argan mengutuk dirinya. Kenapa bisa seceroboh ini sampai-sampai ia membiarkan Rafa menyeberang jalan sendirian. Seharusnya ia segera menuruti keinginan Rafa, bukannya malah sibuk dengan dirinya sendiri.
"Ra, bangun Ra! Gue di sini, Ra!" panggil Argan setengah berbisik di telinga Rafa. Wanitanya masih belum sadarkan diri. "Ra, elo denger gue kan?"
"Ra, kita belum beli es krim loh, Ra." Argan menggigit bagian dalam bibir bawahnya. Ia tidak membiarkan isaknya lolos meskipun matanya sudah lebih dulu dihujani mendung yang ia tahan di kelopak.
"Ra." panggilnya lagi dengan suara parau.
Ambulan datang dengan sirine yang memekakkan telinga. Argan ditarik mundur, menjauh dari lokasi kejadian. Disusul mobil polisi yang tampak terburu-buru. Beberapa orang dimintai keterangan terkait insiden yang terjadi. Tentu saja Argan menjadi salah satu saksi.
Tubuh Rafa dibawa masuk ke ambulan bersama beberapa orang petugas dengan baju serba putih, senada dengan kendaraan yang mereka tumpangi. Tanpa menunggu lagi, ambulan tancap gas diiringi kelap kelip lampu merah-biru yang menyala bergantian.
"Bisa kami minta keterangan dari Adek mengenai kecelakaan ini?"
Dengan penuh berani, Argan menunda pertanyaan yang dilontarkan seorang polisi agar bisa ia jawab setelah memastikan Rafa benar-benar ditangani dengan baik di rumah sakit.
"Setelah dari rumah sakit ya, Pak." Argan memacu motornya mengiringi mobil ambulan di depannya. Pikirannya kacau balau.
Ra, elo harus bangun!
📷📷📷
"Kejadiannya sangat cepat, Pak. Saya gak sempat lihat plat mobilnya." tutur Argan dengan napas terengah-engah. Setelah berlari menyusul Rafa yang dibawa ke IGD, ia langsung melesat ke kantor polisi untuk menjadi saksi.
Argan memang di sini, namun pikirannya tertinggal di rumah sakit. Bagaimana kabar Rafa sekarang? Apakah sudah siuman?
"Kami minta Adek fokus supaya cepat selesai dan kami bisa menindaklanjuti kejadian ini." pinta polisi.
"Baik, Pak." sahut Argan.
Suara keyboard laptop yang ditekan cepat mengisi kekosongan di ruangan interogasi ini. Bukannya terlihat sebagai saksi, Argan justru seperti tersangka yang hendak dihukum mati. Pucat sekali wajah laki-laki itu.
"Baik. Terimakasih!"
"Sama-sama, Pak." Selepas berjabat tangan, Argan pamit.
Bingung. Harus apa ia sekarang. Argan menggulir layar ponselnya dan menghubungi seseorang. Beruntung, tidak butuh waktu lama orang di seberang sana langsung menjawab panggilannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Potret Rafa
Teen Fiction[Book 2] SEQUEL LENSA ARGAN #4 lensa 15.06.20 Kamu mengajariku cara melihat apa yang tidak ingin dilihat; melupa apa yang tidak ingin dilupa. Tentang kita yang ada, namun tiada.