"Ck! Mana sih si Andre?! Gua udah lumutan nunggu dia di sini!"
Matanya menggulir ke kanan dan kiri. "Lima menit lagi belom dateng juga, gua jadiin dia pepes! Beneran!" Sumpah Argan asal jadi.
Argan rasanya ingin meremas ponsel di genggaman. Sudah sepuluh menit Argan berdiri di sini namun Andre tak kunjung datang. Padahal sejak dua puluh menit yang lalu Andre mengatakan bahwa ia sedang on the way. Otw kamar mandi barangkali.
Iseng, Argan membaca kembali chatting dengan Rafa. Sudah lama sekali ia tidak mendapat kabar Rafa. Mengharapkan Darel memberi kabar itu sama saja seperti menunggu ayam jantan bertelur. Bersabar, itulah pesan Oma yang selalu ia pegang teguh. Argan yakin suatu saat semua akan kembali seperti sediakala.
Sesekali ia tersenyum. Hangat terasa di dada kala memori bersama Rafa berputar kembali di kepalanya. Semua terasa begitu nyata meski hanya khayalan belaka.
Bahagia sepertinya punya batas waktu yang tidak bisa dilampaui. Bahagia yang menyambangi hidup Argan seolah punya sekat yang tidak bisa ditembus. Bahagia selalu membawa sedih. Dua hal itu beriringan dan menampar Argan telak pada waktunya.
"Kak, nanti siang kita latihan kan Kak?"
"Iya, jam setengah tiga kayak biasa ya di ruang sketsa."
"Oke, Kak!"
Argan mengangkat wajahnya saat seseorang yang mulai 'ikut campur' dalam urusan pribadinya datang. Pemuda tampan itu menunduk sembari tersenyum saat melewati Argan. Seperti senior kebanyakan, Argan hanya mengangguk sekilas tanpa menyahut.
Beberapa detik Argan abai, namun entah darimana keinginan untuk 'ribut' muncul sebagai ide brilian. Dengan ligat, Argan berjalan cepat. Hendak mendahului.
"WOI!"
Cukup sekali panggilan tanpa alamat sudah mampu menghentikan langkah pemuda itu. Ia pun menoleh.
Argan memandang angkuh dengan tatapan tajam. "Elo tahu kenapa gua tiba-tiba manggil elo?!"
Pemuda dengan nametag Tristan itu mengangkat sebelah alis. "Maaf, Kak. Saya ada salah apa ya?"
Argan menjilat bibir bawahnya yang kering dengan lidah. "Gua sebenarnya males berurusan sama elo. Tapi, gua harus kasih tahu elo supaya gak ngelunjak!"
Tristan tambah bingung. Ia berusaha mengingat apa kesalahan yang barangkali tidak sengaja ia lakukan. Lagipula, ia tidak punya cukup keberanian untuk mencari masalah dengan Argan Mahesa, kakak kelas yang 'bringas' ini. Bicara empat mata saja baru kali ini. Bagaimana bisa ia sudah memiliki masalah yang cukup serius dengan kakak kelas itu.
"Gak ada yang larang buat tebar pesona, tapi jangan ke pacar orang! Lo mau nikung?" Argan tersenyum kecut. "Yakin berani lawan gua?" Argan perlahan mundur lalu pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Potret Rafa
Teen Fiction[Book 2] SEQUEL LENSA ARGAN #4 lensa 15.06.20 Kamu mengajariku cara melihat apa yang tidak ingin dilihat; melupa apa yang tidak ingin dilupa. Tentang kita yang ada, namun tiada.