Argan menatap langit yang mulai gelap. Sudah habis teh hangat yang ia bawa satu jam yang lalu. Argan geram, benar-benar geram. Kalau saja di rumah tidak ada Oma mungkin Argan sudah mengajak Nichol baku hantam. Tapi sayangnya laki-laki itu tidak kunjung datang. Kata Oma, Nichol sudah pergi sejak pagi dan belum kembali.
"Benar-benar tu orang! Nggak pernah mau ngeliat adeknya bahagia!" Argan mengeraskan rahangnya. Kalau Nichol tidak juga datang lima menit lagi, Argan bersumpah akan mencarinya sampai ke ujung dunia. Haha, lebai. Ya nggak dong, kejauhan. Argan mana punya uang sebanyak itu.
Di sela menunggu, Argan memutuskan untuk membalas chat Rafa yang sudah masuk sejak tadi sore. Ia sengaja menunda untuk membalas, sesuai permintaan Sherin. Jujur, Argan tidak tahu apakah rencana yang telah Sherin susun sedemikian rupa akan berhasil atau justru semakin membuat rumit semuanya.
Argan frustasi lantas mengacak asal rambutnya. Angin malam yang cukup dingin menyentuh wajahnya yang lelah. Ia teringat soal entah dari planet mana asalnya keluar di try out tadi. Argan tidak mengerti sama sekali. Bahkan ia belum menyentuh buku sepenuh hati di kelas 12 ini. Eh tahu-tahu sudah dijejali soal try out saja.
Argan duduk di pagar balkon kamar Nichol. Ia melirik jam tangannya sambil mendengus sebal. "Dua menit lagi kalo nggak dateng bakal gua..."
"Woi!"
Argan menoleh dingin. Dalam hati ia berdecak senang karena orang yang ditunggu sudah datang sekaligus merapalkan sumpah serapah.
"Baru dateng ni orang! Udah gua tungguin dari tadi juga!" Desis Argan dengan mulut sedikit terbuka. Intonasi suara Argan cukup tinggi namun sepertinya ucapan itu hanya terdengar seperti dengungan serangga di telinga Nichol.
"Apaan?" Nichol mendekat sambil mengarahkan sebelah telinganya ke arah Argan.
Argan berdiri tegap. Ia membenarkan jaket yang ia kenakan. Entah sudah janjian dengan Argan atau memang semesta sedang memihak pada orang yang teraniaya, angin tiba-tiba bertiup kencang. Menerbangkan rambut Argan yang sedikit panjang untuk ukuran anak sekolahan, pun jaketnya yang sudah ia perbaiki kini terbuka, menampilkan kaos putih polos yang membungkus tubuh kekarnya.
Serius deh, Argan bener-bener elegan!
Senyum Nichol uang semula mengembang tiba-tiba mengerut. Kedua alisnya saling bertaut. Kepalanya dipenuhi tanda tanya yang sama besarnya dengan ukuran kepala Nichol. Argan kenapa kayak mau mutilasi orang gini?
"Lu kenapa, Gan?" Nichol berusaha bersikap normal padahal dadanya berdegup kencang seperti genderang mau perang.
Argan menampilkan seulas senyum miring. Senyum yang lebih memberi aura ngeri ketimbang happy. Laki-laki itu berdiri dengan berat badan bertopang ke salah satu kaki. Satu tangannya bersembunyi di satu celana sedang yang satunya lagi menggaruk bagian belakang telinga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Potret Rafa
Teen Fiction[Book 2] SEQUEL LENSA ARGAN #4 lensa 15.06.20 Kamu mengajariku cara melihat apa yang tidak ingin dilihat; melupa apa yang tidak ingin dilupa. Tentang kita yang ada, namun tiada.