Rafa masih ditangani di dalam ruangan IGD. Luna tidak henti-hentinya merapalkan doa demi keselamatan anak sematawayangnya. Hatinya dipenuhi gundah. Luna tidak akan memaafkan Argan jika Rafa kenapa-napa.
Hanya tinggal Luna dan Darel yang masih setia menemani Rafa melewati masa-masa kritisnya. Mata Luna menyorot teduh kepada sosok Darel yang berjalan bolak-balik di depan pintu IGD. Laki-laki itu tidak kalah mencemaskan keadaan Rafa.
Luna tidak salah memilih Darel sebagai orang yang selalu menjaga putrinya saat ia tidak ada di rumah. Ia bisa melihat sendiri bagaimana kepedulian Darel kepada Rafa. Bahkan Luna tidak melarang jika mereka berdua saling jatuh hati.
"Tante." suara Darel mebuyarkan lamunan Luna.
"Kenapa?"
Darel duduk di samping Luna. "Tante kayaknya capek. Biar saya aja yang jagain Rafa untuk malam ini. Tante pulang aja, istirahat."
Luna menggeleng dengan mata berkaca-kaca. "Tante jarang banget ada di dekat Rafa. Mungkin sekarang waktunya Tante untuk membayar itu semua."
"Tapi itu semua Tante lakukan untuk masa depan Rafa juga. Rafa pasti bangga punya Mama yang hebat seperti Tante."
Isak Luna tertahan di tenggorokan. Hatinya begitu remuk jika mengingat kondisi Rafa yang begitu memilukan hari ini. Gadis itu penuh darah. Apa jadinya jika Rafa yang takut dengan darah melihat tubuhnya yang bergelimang cairan merah itu. Sejak kecil, Rafa memang memiliki ketakutan terhadap darah. Itulah sebabnya, Luna selalu berusaha melindungi Rafa meskipun tampak seperti orang tua yang overprotektif kepada anaknya.
"Kita percayakan saja kepada Allah. Semoga Rafa baik-baik saja." Darel memperbaiki posisi kacamatanya. "Bagaimana kalau Tante nginap di rumah Tante Arum aja?"
Luna menghela napas panjang sambil mengangguk pelan. "Maaf ya, Tante ngerepotin kamu lagi."
"Gak kok, Tan."
"Kamu anak yang baik. Rafa beruntung bisa berteman dengan orang seperti kamu."
"Saya yang beruntung, Tan. Bisa berteman sama Rafa." balik Darel rendah hati. Tapi memang demikian adanya. Bahkan sampai detik ini, Rafa masih menjadi sebuah harapan yang selalu Darel semogakan.
"Kalau ada apa-apa, segera hubungi Tante ya." Luna bangkit dari duduknya.
"Iya, Tan. Hati-hati."
Luna mengangguk. "Kamu juga jangan terlalu capek. Rafa pasti gak mau ngeliat kamu sakit gara-gara jagain dia."
Luna menyusuri lorong rumah sakit yang mulai sepi. Malam sudah jatuh. Tanpa bintang. Sama seperti malam Luna yang redup karena bintangnya sedang cidera dan belum sadarkan diri.
Luna berhenti di depan pintu rumah sakit. Niat hati ingin memesan taksi online, namun ponselnya berdering.
"Assalamualaikum, Luna. Gimana keadaan Rafa?"
"Waalaikumsalam, Amara. Rafa belum sadarkan diri. Rafa masih ditangani dokter."
"Aku khawatir banget, apa aku pulang aja ya?"
"Pekerjaan kamu gimana?"
"Itulah masalahnya. Masih banyak urusan yang harus aku selesaikan. Salam aja ya buat Rafa."
"Iya."
"Terima kasih Luna udah jagain Rafa."
"Iya, sama-sama."
"Udah lama banget aku gak ketemu sama dia."
"Rafa sudah tumbuh jadi gadis yang cantik dan pintar, sama seperti kamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Potret Rafa
Teen Fiction[Book 2] SEQUEL LENSA ARGAN #4 lensa 15.06.20 Kamu mengajariku cara melihat apa yang tidak ingin dilihat; melupa apa yang tidak ingin dilupa. Tentang kita yang ada, namun tiada.