Bel tanda istirahat sudah berbunyi sejak lima menit yang lalu, namun semua murid kelas XII IPA 5 masih sibuk menulis jawaban di kertas masing-masing. Kuis dadakan sejarah yang diadakan dua puluh menit menjelang istirahat itu akan menjadi momen yang tidak terlupakan bagi Rafa. Jika biasanya kuis dilaksanakan setelah materi pelajaran selesai dijelaskan maka berbeda dengan prinsip Mandeh, sang guru sejarah Indonesia di SMA Cendikia. Beliau justru mengadakan kuis di awal bab.
Mandeh memang jagonya membuat murid geleng-geleng kepala. Tidak ada yang bisa menebak isi pikiran Mandeh. Pada bab sebelumnya, Mandeh menyuruh murid-muridnya membuat mindmap dan ulangan harian secara lisan. Sedangkan di bab ini, beliau menghadiahi pertanyaan antah berantah tentang sesuatu yang belum terjamah.
"Ayo cepat anak-anak! Mandeh udah lapar nih!" ujar wanita paruh baya dengan suara keras bernada manja. Beliau termasuk salah satu guru paling kocak di sekolah tapi tidak kocak dalam hal memberikan tugas.
"Latip alah siap Mandeh! [Latip sudah selesai Mandeh]" lantang Lathief, sang ketua kelas.
"Santiang Latip! Alah elok, pandai, ketua kelas nan berbakti pulo lai tu! [Pintar Latip! Sudah baik, pandai, ketua kelas yang berbakti pula]" puji Mandeh.
Lathief memang selalu digadang-gadang sebagai anak kesayangan setiap guru yang masuk ke kelas. Selain sopan dan bertanggung jawab, Lathief juga merupakan ketua kelas yang dapat diandalkan di semua keadaan. Biasanya Lathief pula yang diandalkan oleh teman-temannya untuk bernegosiasi jika ada ulangan atau kuis dadakan. Tapi hari ini, untuk pertama kalinya laki-laki berkulit eksotis itu kalah bersilat lidah dengan Mandeh. Namanya juga Mandeh, jika menentang bisa-bisa dikutuk jadi batu seperti Malin Kundang.
"Kawan-kawan, ayo kumpulin jawaban kuisnya!" interupsi Lathief menghentikan sebagai besar murid yang sedang menulis. Jika sudah seperti ini semua orang akan menurut saja.
Satu persatu murid berjalan menuju meja guru dengan wajah kacau. Bayang-bayang nilai di bawah KKM menjadi momok yang menakutkan.
"Indak usah takuik. [Gak usah takut]" seru Mandeh saat Rafa meletakkan kertasnya bersama tumpukan kertas yang lain. "Mandeh cuma mau melihat isi kepala kalian saja."
Isi kepala? Yang benar saja?!
Rafa tersenyum kikuk sambil membereskan kertas jawaban lalu memberikannya kepada Mandeh. Inilah rutinitas sekretaris setiap habis kuis atau ulangan.
"Terimakasih Buk Sekre!"
"Sama-sama Mandeh."
Rafa berjalan menuju mejanya sesaat setelah Mandeh hengkang dari kelas. Semua murid pun berhamburan, berburu makanan yang sudah bisa dipastikan ludes diborong anak kelas lain. Palingan di kantin hanya tinggal gorengan dingin dan air kemasan. Apa boleh buat? Daripada harus menahan lapar sampai siang.
"Bener-bener deh kuis hari ini!" omel Rafa yang baru saja mendaratkan bokongnya ke kursi.
"Gue gak tahu nulis apaan tadi! Ya Allah! Gue tadi mengarang indah." Manda membenamkan wajahnya ke lipatan tangan di atas meja.
"Bab selanjutnya gue gak bisa bayangin kayak apa kita bakal diuji sama Mandeh."
"Siap-siap mental aja deh. Oh iya gue bawa bekal nih." Manda mengeluarkan kotak bekal dari ranselnya. "Emak gue kayaknya udah meramal ini semua deh. Buktinya emak gue tahu kalo gue bakal telat keluar main dan jajanan di kantin udah pada habis."
Mata Rafa berbinar menatap dua potong sandwich yang sangat menggiurkan itu. Tanpa ba-bi-bu, Rafa langsung mencomot roti isi itu lalu menyantapnya lahap.
KAMU SEDANG MEMBACA
Potret Rafa
Teen Fiction[Book 2] SEQUEL LENSA ARGAN #4 lensa 15.06.20 Kamu mengajariku cara melihat apa yang tidak ingin dilihat; melupa apa yang tidak ingin dilupa. Tentang kita yang ada, namun tiada.