Jika Gema di sana menakutkan
Nada akan menggenggam Gema Sanjaya
Dan jika Nada di sana memilukan
Gema akan berdiri di samping Nada Rasieka
Detak konstan mereka menjadi tak beraturan kala tahu sisi kelam sekolahnya yang menciptakan jarit kesakitan.
*...
Gema Sanjaya berjalan santai menyusuri lorong koridor yang lengang. Dia tahu rumor sekolah ini yang menyebar. Jujur, Gema sedikitpun tidak takut, dia justru tidak percaya. Gema juga tahu ini sudah malam, tapi dia tetap harus kembali untuk mengambil peralatan sekolahnya yang tertinggal. Tangan kirinya ia masukan ke saku celana, tangan kanannya menggenggam handphone untuk dijadikan senter. Tidak ada gentar yang dia tunjukan padahal rumor sekolah ini sangat mengerikan.
Gema terus menuntun langkahnya untuk sampai tujuan. Kakinya ia tapaki, mengabsen satu persatu lantai yang terasa hampa. Dingin kian menusuk. Dia meninggalkan hoodiedi motor ketika hendak masuk. Tadi dia merasa kegerahan, tapi kenapa sekarang malah kedinginan?
Langkahnya menggema, membuat suara yang cukup keras di tengah koridor. Pintu kelasnya sudah terlihat, dia langsung mengambil kunci duplikat di saku seragamnya.
Gema terdiam sebentar, merasakan ada kehidupan di balik pintu yang akan ia buka. Perlahan tangannya memegang hendel pintu, menciptakan suara pelan. Namun, suara itu mampu terdengar mengingat tempat dia berdiri sangat sunyi. Gema memutar kunci di tangannya, lalu membuka pintu sepenuhnya.
"AAAAAAA SETAN!!"
"Saya manusia." Gema terkejut, refleks menjawab. Namun, ekspresinya tidak menunjukkan apapun.
Nada membuka mata dengan cepat. Yang dia lihat bukan setan, melainkan Gema yang tampan. Nada lega karena ada makhluk yang satu spesies dengannya. Berbeda dengan Gema, Nada terlihat berantakan, nafasnya ngos-ngosan, untung tidak kerasukan.
Gema sadar ternyata dia tidak sendirian. Disini, si ruang kelas ini, ada makhluk selain dirinya. Sosok cewek dengan seragam, rambut acak-acakan, juga tubuh yang gemetar.
"Kalau mau uji nyali jangan di sini, mba. Kasian hantunya yang malah ketakutan." Gema menghampiri bangkunya.
Mengambil tas dan perlengkapan sekolah yang ia tinggalkan. Gema bolos kelas saat jam pelajaran kedua. Dia memilih nongkrong bersama Aris daripada mengikuti pelajaran bahasa Inggris.
Gema tahu cewek di depannya adalah Nada. Mereka sekelas dari tahun ajaran pertama. Dari kelas sepuluh sampai kelas dua belas Sekarang. Nada yang bar-barnya nggak ketulungan. Sedangkan Gema yang tenangnya bak samudra, kerennya tiada tara, gantengnya seseantero Jakarta, namun kenakalannya sangat kentara. Tapi, di mata Nada, Gema begitu memesona, sudah sempurna seperti dewa. Pssstt ... Tajirnya jangan ditanya.
Nada menghampiri Gema. Gema menoleh saat merasakan ada sesuatu yang memegang tali gelangnya yang menjuntai. "Ngapain lo pegang-pegang? Sana hussh!" Gema mengibaskan tangan di depan wajah Nada.
"Takut ..."
"Halah... Modus lo."
Nada menunduk, dia benar-benar takut. Hanya Gema satu-satunya harapan untuk hidup.
"Gue rela jadi babu lo, asal bawa gue pulang plis..." Nada menangkupkan kedua tangannya sambil memejam.
"Bego." Gema menoyor kepala Nada, lalu berbalik untuk melanjutkan langkahnya yang tertunda. Nada buru-buru menyusul, meraih kembali tali menjuntai dari gelang yang Gema pakai. Gema kali ini membiarkan. Dilihat dari sisi manapun, Nada memang sedang ketakutan.
Mereka berjalan bersama. Tidak ada suara yang memecah hening. Mereka bungkam dengan pandangan lurus ke depan. Nada berkali-kali menghela nafas, sedangkan Gema terlihat biasa saja.
Koridor yang gelap, lantai yang lembab, bahkan sekarang udara terasa pengap. Nada sangat yakin, dia tidak akan berani jika melewati ini sendiri. Ingatkan Nada untuk menyantet orang-orang kurang micin yang menguncinya tadi.
Baru setengah jalan yang mereka lalui untuk keluar dari gedung sekolah, terdengar jeritan yang masuk Indera pendengaran. Langkah mereka terhenti, Nada semakin merapatkan tubuhnya pada Gema, tidak peduli jika nanti dia dimaki. Kesempatan tidak datang dua kali hihihi.
Gema membalikkan pandangan ke belakang di mana suara itu berasal. Detak jantung mereka menggila. Bedanya, Gema bukan karena takut, melainkan terkejut.
Refleks Gema menggenggam tangan Nada. Mau bagaimanapun Nada sedang bersamanya Sekarang, jadi cewek ini harus aman.
Bukan Gema jika tidak menuntaskan rasa penasarannya. Dia menuntun Nada agar tetap mengikutinya. Mata Nada membola, mereka bukan berjalan ke arah gerbang, tapi ke arah suara itu terdengar?
"Lo mau mati?! Kalo gue ogah. Dosa gue masih banyak, Gema."
"Berisik."
"Gem, gue tau yang teriak itu cewek, tapi jangan lo embat juga kali! Gimana kalau itu mba Kunti hihh ..." Nada bergidik ngeri.
"Kalau lo nggak mau ikut, ya udah sana, pulang sendiri."
"Oke, gue ikut." Nada meringis dalam hati. Masalahnya, ini adalah antara hidup dan mati. Ah ... Mungkin otak Nada harus di reparasi, imajinasi yang menari-nari di otaknya terlalu tinggi.
***
Di persimpangan lorong, kaki mereka tertahan. Dengan cepat Gema menarik tubuh Nada untuk merapat ke dinding. Menyembunyikan diri. Detak konstan mereka berubah menjadi tak beraturan. Nafas mereka memburu, panas dingin menjalar di setiap inchi tubuh mereka. Keringat bercucuran, dadanya naik turun tidak karuan.
Nada melemas, rohnya seakan terlepas dari raganya sekarang. Hampir ambruk jika saja Gema tidak menopang. Tatapan Nada kini kosong, dia terkejut setengah mati sampai rasanya ingin mati. Menolak percaya pada apa yang dia lihat di depan sana. Gema tidak mengucapkan sepatah kata, memilih diam, berusaha mencerna semua.
Bibir Nada bergerak perlahan, "Itu ..."
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.