GN-12

12 4 23
                                    

Gema duduk tanpa kata. Menghiraukan Nada yang menatap ke arahnya. Hati menolak percaya, sedangkan otaknya terus memaksa untuk menerima. Apa yang dia dengar tidak nyata, 'kan? Jika semua itu seperti yang Gema pikirkan, dia harus melakukan apa?

Kecewa mungkin sudah tidak tergambarkan. Gema akan patah. Satu-satunya orang yang dia punya meniti jalan yang salah. Kenapa dari sekian banyaknya orang, harus ayahnya?

Sirat sendu terpancar dari mata yang kini menghadap jendela. Memilih tuli pada sekitar. Tangannya mengepal di bawah meja, keringat-keringat halus menguar dari sana. Gema butuh penenang saat ini.

Gema menoleh saat mendapat tepukan pelan di bahu. Di sampingnya, ada Nada yang ikut duduk.

"Kenapa Lo?"

"Bukan urusan Lo."

"Sekarang urusan Lo, urusan gue juga, Gem."

Tidak ada sahutan.

"Sampai kapan Lo mau nutup diri? Apa lo nggak kesepian, Gem? Banyak orang di sekeliling Lo yang sebenarnya peduli, tapi Lo sendiri yang Mandang mereka nggak berarti."

"Mereka ... Nggak bener-bener peduli. Mereka semua cuman penasaran sama gue."

"Lo raguin gue? Gue salah satu dari sekian banyaknya orang yang peduli sama lo, Gem. Jangan terus anggap mereka buruk."

"Lo nggak tau rasanya kecewa!" Gema tidak berteriak. Dia hanya menekan setiap kata dalam kalimat.

Nada tersenyum, senyum manis namun terkesan miris. "Gue emang nggak tau. makannya, gue pengin tau dari Lo."

Gema memejam. Menimang, apakah berbicara dengan Nada keputusan yang benar?

Akhirnya Gema menghela nafas. Mengeluarkan suara yang akan di dengar oleh Nada.

"Saat Lo tau ternyata orang yang Lo anggap paling peduli sebenernya cuman iri, Lo bakal jadi orang paling hancur. Lo ngerasa jadi orang paling bego. Orang yang lo tau sebagai teman, tapi ternyata nggak lebih dari sekedar orang yang penasaran, Lo bakal malu sama diri Lo sendiri. Lo malu karena gampang dimanipulasi."

"Karena gue udah pernah nyicip rasanya, gue jadi males berinteraksi sama manusia. Gue nutup diri karena gue cinta sama diri sendiri. Gue nggak mau sakit hati dengan mengizinkan mereka masuk ke hidup gue sesuka hati."

"Lo tadi tanya apa? Kesepian?" Gema tersenyum kecut. "Gue udah lama kesepian sampai lupa rasanya kesepian. Kesepian udah jadi hidup gue sekarang."

Bising di sana seakan hening. Nada dan Gema merasa duduk di dunia yang hanya ada mereka. Seakan orang-orang di kelas tidak pernah ada keberadaannya. Nada membiarkan Gema mengeluarkan semua unek-uneknya, Sampai di akhir kalimat Gema, Nada baru bersuara.

"Gema, kalau Lo nggak pernah sakit hati itu artinya Lo nggak pernah hidup. Hidup itu dibaca dari seberapa Lo sakit dan bahagia. Kecewa ... Wajar aja, sih, Lo kecewa. Karena bukan cuman Lo aja yang pernah ngerasa, tapi semua manusia."

"Banyak definisi kecewa, dan gue nggak tau lo masuk kategori yang mana. Yang jelas, semua kecewa itu rasanya sama, Gem. Sakitnya di mana-mana. Bukan di satu titik aja."

"Gema, coba Lo liat mereka sebentar aja." Nada menuntun Gema dengan mata untuk menatap sekumpulan manusia yang bertingkah gila. Semua siswa yang ada di kelas XII IPS 2 sedang bercanda dan tertawa. Gema menurut dan mulai meniti mereka.

"Lo liat, mereka pada gila. Lo nggak tertarik ikut gila-gilaan bareng mereka? Gem, Lo nggak akan tau mereka siapa sebelum ikut andil di hidupnya. Ibaratnya gini, Lo percaya aja nama dia Udin, padahal nama aslinya itu Aludino. Emang, kalau di pikir nggak penting, tapi kalau di panggil kesannya beda."

Gema NadaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang