GN-19

11 1 0
                                    

Angin masuk ke setiap rongga tubuh Gema dan Nada. Air yang jatuh sepertinya kelelahan. Hujan telah berhenti setelah menyuguhkan sebuah melodi. Seperti kata orang-orang, hujan memberi banyak filosofi. Tentang jatuh, tapi tidak mengeluh. Tentang dibenci, namun tetap kembali. Mungkin jika setiap tetes mempunyai bibir, mereka akan mengatakan 'Aku lelah jatuh, namun manusia masih membutuhkanku' atau 'Mereka membenci setiap aku turun, tapi aku akan kembali karena masih ada orang yang mengharapkan ku.'

Ada orang yang tidak suka, bukan berarti semua membenci. Ketika lelah pun, bukan berarti harus mengakhiri. Sebab selalu ada satu diantara ribuan manusia yang menanti.

Begitupun Gema dan Nada. Ini memang berat, sulit, rumit. Tapi, mereka punya orang-orang yang siap mengulurkan tangan. Saat lelah, mereka hanya perlu berhenti sejenak, mendongak, lalu mengatakan 'aku istirahat'  tidak perlu mengakhiri hal yang sudah mereka mulai begitu saja.

"Wah, lagi bahas apa?"

Gema dan Nada menoleh serempak. Di ambang pintu, Andi berdiri dengan kedua tangan yang bersembunyi di dalam saku celana. Kemeja warna biru pudar masih tertata rapi di tubuhnya. Senyum mengembang bentuk keramahtamahan, sampai deretan gigi tak segan dia tampakkan. Memandang mereka dengan binar terang.

"Cih." Gema berpaling. Enggan melihat ayahnya terlalu lama.

"Sore, Pak. Ini saya mau pulang, kok." Senyum kikuk tertera jelas di wajah Nada.

"Kok pulang? Saya baru datang lho." Andi terkekeh. Gema yang mendengar tidak bisa untuk tidak mendengus.

"Setidaknya makan dulu sebelum pulang. Dan ajak Gema juga, biar saya siapkan." Setelah tersenyum, Andi kembali masuk ke dalam.

"Gem, ayah Lo kayaknya seneng banget."

"Baru kali ini gue liat tampang dia kayak gitu."

"Masa sih?"

"Cih! Apa bunuh orang semenyenangkan itu?— Aww!" Gema meringis saat panas hasil dari kepretan Nada menjalar di belakang kepalanya.

"Ngomong tuh, di pikir dulu. Dia itu bokap Lo!"

Gema malas berdebat. Untuk itu dia bangkit, melenggang pergi meninggalkan Nada yang masih duduk di tempat.

***

Senyap seperti sudah menjadi identitas rumah ini. Tidak ada hangat selain dari pemanas ruangan. Tidak ada suara selain dentingan sendok dan detak konstan jarum jam. Ketiga manusia hanya berkumpul untuk makan, benar-benar hanya makan. Tanpa kata, tanpa tawa. Seperti hanya sendirian saja. Nada bingung harus mencairkan suasana dengan cara apa, tidak mungkin 'kan dia tiba-tiba nyanyi balonku ada lima?

Nada diam-diam melirik Pak Andi dan Gema bergantian. Mereka seperti orang asing yang tidak sengaja satu tempat duduk di warung pinggir jalan.

Gema tidak sengaja menangkap tatapan Nada, dengan cepat cewek itu kembali menunduk dan fokus pada piring didepannya.

"Makan, makan aja, matanya nggak usah jelalatan."

Sial!  Ingatkan Nada untuk istigfar. Gema benar-benar menguji kesabaran.

Andi Yang sedari tadi bungkam, ikut merekam. Ada rasa lega ketika tahu anaknya tidak sendirian. Ia bersyukur Nada mau ikut bergabung dalam hidup Gema yang penuh kegelapan.

"Kalian bikin saya iri." Kalimat itu dibarengi tawa Andi.

"Iri kenapa pak?" Nada tidak bisa untuk tidak bertanya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 29, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Gema NadaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang