GN-3

19 7 0
                                    

Ketakutan hanya akan membuatmu lemah.

Gema menjunjung tinggi prinsip itu. Meskipun kamu memang takut, jangan sampai musuh mu tahu.

Teriakan dan jeritan terdengar ketika cewek dan Gema berpapasan. Kejadian yang mencekam seakan tidak pernah terekam. Tawa sumbang juga percakapan tak berdasar menghapus sisi kelam yang terjadi semalam. Untuk mereka, tempat ini masih nyaman, tidak perlu ada yang dikhawatirkan.

Tapi, di mata Gema tempat ini sudah seperti neraka. Meskipun dia tidak tahu sebenarnya neraka itu seperti apa. Sekolah mewah dengan fasilitas wah ini mengancam jiwa dan raga yang singgah. Gema awalnya tidak peduli dan reputasi sekolah ini pun tidak ternodai. Namun, dia sudah menyaksikan. Besok atau lusa dia yang akan menjadi korban.

Gema harus mencari tahu.

Ada orang yang ingin Gema temui. orang seperjuangan yang ikut melarikan diri.

Tiba di kelas matanya langsung menjelajah ke setiap inchi sudut ruangan. Sampai menemukan sekumpulan cewek bar-bar yang tertawa begitu kencang. Gema mendekat, membuat tawa mereka tercekat.

Gema mengetuk meja cewek yang duduk dengan wajah cemberut.

"Ikut gue bentar. Ada yang mau gue omongin."

"Kalau mau nembak, sorry, gue nolak." Nada mengangkat sebelah tangganya.

"Pede amat lo, cendol."

"Ape lo, pindang teri!"

"Ck, buruan!"

Nada berdiri, mulai melangkah gontai mengikuti gema yang tidak sabaran.
Fika, Ara, dan Caca menatap tidak percaya. Sejak kapan Nada yang gilanya sebelas dua belas dengan mereka, dekat dengan Gema?

Mereka berhenti di atap sekolah. Nada tidak sadar jika Gema membawanya ke atas. Terakhir kali dia menginjakkan kaki di sini ketika kelas sepuluh. Tidak ada yang berubah. Bangku panjang di sisi kanan, tumbuhan merambat di kawat pembatas sebelah kiri, juga tembok penghalang di depan. Gema berbalik, menatap Nada.

"Sembunyiin."

Nada mengernyit, "oh ... Jadi, lo mau kita backstreet." Nada mangut-mangut.

"Gue serius."

"Gue juga bercanda, Gem." Satu detik nada diam. Setelahnya tertawa begitu kencang.

Ah ... Gema lupa kalau orang di depannya ini gila.

"Iya, iya. Gue paham. Yang semalem 'kan?" Nada bertanya, tapi tidak membutuhkan jawaban. Hanya memastikan, namun tidak ada sahutan. Gema memandangnya datar.

"Tapi, gue masih kesel sama lo! Kesel pake BANGET!" Nada menatap Gema nyalang, "kemarin lo nyuruh gue pulang sendirian di saat mental gue tertekan? Jahara sekali anda! kalau gue kenapa-napa gimana coba."

"Lebay Lo."

Nada tercengang. Memang apa yang Nada harapkan dari seorang Gema? Meminta maaf? Atau sujud sekalian?
Masih untung semalam dia tidak ditinggalkan di ruang kelas sendirian.

Gema itu raja. Dia membangun perisai di sekitarnya. Membatasi diri dari orang yang berusaha mendekati. Gema itu sempurna, hampir tanpa cela. Sehingga orang sungkan untuk sekedar memberi sapa. Gema itu tenang. Semua yang dia rasa, dia tanggung sendiri tanpa mau repot-repot membagi.

Gema tidak suka hidupnya di sentuh. Dia tidak terima jika perisainya runtuh. Sebisa mungkin dia memberi jarak dari manusia, agar dia tidak pernah merasa kecewa. Egois, ya. Dia tidak mau dekat, lalu terjebak, kemudian merasakan luka yang menyayat.

Karena Gema bersikukuh menjaga tenangnya, sifat dan sikap alaminya dia simpan rapat-rapat. Menyembunyikan hangat dan karakter asli dalam diri. Kemudian, dia tunjukkan dingin yang orang lain terima dengan senang hati. Bahkan dikagumi. Gema semakin masuk ke dalam paradoks yang dia gunakan saat ini.

Hanya Aris tempatnya beristirahat. Memberi jeda pada diri yang selama ini berpura-pura. Dengan Aris, dia bisa menjadi Gema. Gema tampan yang konyol dan over karakter.

Namun, sekarang ... Di depan Nada ... 
Kalian bisa menyimpulkan sendiri bagaimana.

"Kalau bukan cogan, udah gue lempar lo ke cabe-cabean pinggir jalan." Nada menyilang kan kedua tangannya di dada, lantas meninggalkan Gema.

***

Duduk di bangku, Nada langsung di serbu. Sahabat absurd yang menempel sejak SMP ini berbicara tanpa jeda. Membuat Nada jengah dan hanya membisu.

"Wah, air comberan kok bisa deket sama air surgawi?" Fika menyerobot duduk di sebelah Nada.

"Gila sih! Kerak panci bisa nempel di produk luar negeri." Ara menggelengkan kepala.

"Hebat! Bunga bangkai juga bisa dilirik Abang gemay." Caca bertepuk tangan.

Ingatkan Nada untuk istigfar.

"Kalian gila?"

"Sejak kapan kita waras, Nad?"
Fika, Ara, Caca tertawa.

"Oo iya, Lo 'kan pada soplak." Nada mengangguk.

"Tenang, Lo juga termasuk." Ara tersenyum bangga.

Mereka berempat terbahak. Melupakan tatapan aneh dari para penghuni kelas IPS. Siswa yang menyaksikan merasa kasihan pada Nada dan kawan-kawan. Soalnya, kewarasan mereka berempat berada di bawah rata-rata. Tapi, mereka berempat lah yang meramaikan kelas, tidak bisa dipungkiri bahwa mereka adalah kebahagiaan tersendiri bagi para penghuni.

Kelas selalu menantikan Nada, Fika, Ara, dan Caca karena mereka bisa diandalkan. Jika ada penindasan–terutama anak kelas IPS ini yang menjadi korban– Nada dan kawan-kawan bersedia turun tangan. Meskipun kadang menyebalkan, tapi jika ada mereka, kelas terasa aman dan menyenangkan.

"BWAHAHAHAH ... SOAL NGELAWAK, KALIAN NGGAK ADA TANDINGANNYA! KETAWANYA NULAR SAMPAI SINI WOI!!" Teriak Azril, ketua dari kelas dua belas IPS jumpalitan saat mendengar percakapan nada.

Azril yang selera humornya receh atau memang ada yang aneh?

"Obrolan kalian tuh, udah melenceng dari norma manusia pada umumnya."
Yanita atau yang sering dipanggil Yayan tersenyum miris.

Nada, Fika, Ara, dan Caca mengangkat bahu serempak. Sudah biasa mendengar bacotan unfaedah dari mereka dan hanya menganggap pujian semata.

Bu Vina masuk kelas. Guru bahasa Indonesia yang terlihat masih muda itu tersenyum ramah. Suara hak sepatu yang dia pakai mengalihkan atensi Nada. Sebelum memulai, Bu Vina menatap satu persatu dua puluh wajah siswa yang tampak santai. Lalu tersenyum simpul pada Nada yang sedari tadi memperhatikan dirinya. Nada mengerjap, lalu balas tersenyum.

Semua gerak-gerik Nada tidak lepas dari pandangan Gema yang duduk di bangku paling belakang dekat jendela. Nada merasa dejavu dengan ketukan hak sepatu. Bukan apa-apa, hanya saja suara itu yang terakhir Nada dengar sebelum berlarian seperti orang kesetanan tadi malam. Lebih tepatnya, Gema yang kesetanan. Nada menoleh kebelakang, menyorot Gema dengan tajam.

Tapi ... Otaknya malah berfikir pada hal yang mustahil. Dia membayangkan bahwa Bu Vina yang berjalan kemarin.

"Nggak mungkin, Nada! Nggak usah Ngadi-ngadi deh."

"Mungkin saja, Nada." Bu Vina menjawab dengan senyuman.
...

Tbc

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tbc.

Mwahaha...
Bu Vina bikin Parno.
Tengkyu Buat yg mampir 😘

Sekian Termagazie...

Area Rindu ❤️

Gema NadaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang