GN-11

16 4 30
                                    

Gema duduk malas di bangku kelas. Matanya awas melihat ke luar jendela. Di sana ada Nada dan teman-temannya yang selesai menjalankan hukuman. Guru tidak datang, itu sebabnya bising menjadi teman Gema Sekarang.

Menyadari Nada yang berdiri, Gema juga ikut beranjak. Gema tahu mereka akan ke mana. Dengan santai dia ke luar kelas.

***
Matahari pun ternyata ingin menghukum mereka. Sinar yang terik membuat tubuh mereka seakan terbakar. Keringat mengalir di sekujur tubuh, membasahi seragam.

"Haus banget gue. Kalau gue dehidrasi salahin Pak Arto." Fika mengibaskan tangannya ke leher dan wajah, padahal tidak memberi efek apa-apa.

"Di saat-saat kayak gini nih, air keran pun berasa sprite."

"Lo aja, Ra. Gue mah nggak berpengalaman."

"Tikus got emang suka beda." Ucapan Caca mengundang gelak tawa dari mereka.

Nada berdiri, diikuti yang lain. Mereka berakhir di kantin. Maruk membeli minuman. Kantin tidak terlalu sepi, karena ada beberapa siswa yang kelasnya sedang jam kosong. Nada menyeruput jus alpukat pesanannya.

Fika dan Ara tersedak saat menyadari kedatangan seseorang yang kini duduk di samping Nada.

"Bagus banget, udah olahraga minum jus. Mati besok mampus Lo."

Kini giliran Nada yang tersedak. Buru-buru mengambil es teh manis milik Caca. Caca hanya mengelus dada.

"Heh, kenapa di sini? Wah, ketahuan sama Miss Jen abis lo, Gem."

"Jamkos." Gema melirik Fika, Ara dan Caca. Lalu kembali menatap Nada. "Bisa bicara sebentar?"

Nada menatap sahabatnya, mereka memberi anggukan.

"Ayo."

Gema dan Nada berjalan ke atas atap sekolah. Mereka saling diam hingga sampai di tujuan. Gema duduk di bangku panjang dan Nada ikut duduk di sampingnya.

"Visca juga sama."

Nada menutup mulut. Sudah Nada duga, bukan hanya Desi yang mengalami ini.

"Kasus Visca pun sama persis kayak Desi. Dan udah jelas kalau pelakunya sama."

"T-terus gue harus gimana?"

"Lo masih dapet teror? Atau ngerasa ada yang ngikutin Lo?"

Nada menggeleng. Sejak teror e-mail, Nada tidak mendapatkan teror lagi. Nada juga tidak merasa diawasi.

"Dari kasus mereka, alasan terakhir yang mereka kasih juga sama. Mereka bilang ada urusan sama gurunya."

Gema dan Nada saling pandang. Menyampaikan pikiran lewat tatap.

"Gue mikirnya, si pelaku itu guru di sini." Nada memastikan dengan ucapan.

"Persis. Gue juga mikirnya gitu."

"Gimana cara kita nyari tau?"

"Awasi semua guru-guru. Si pelaku pasti guru yang nyentrik. Karena dia ... Psikopat."

Nada menelan ludah. Benarkah di sekelilingnya ada psikopat? Nada tidak percaya, ternyata selama ini dia hidup di tengah 'jaring' manusia setengah demon.

Psikopat adalah salah satu gangguan kejiwaan yang sangat mengerikan, tidak punya belas kasih atau toleran. Juga sangat suka kekerasan.

"Gem, Lo nggak sadar? Semua guru di SMA Anggara tuh nyentrik-nyentrik. Ada guru ter-killer, guru terbar-bar, guru tersabar, guru tertampan, guru terkalem, guru terkocak, guru teramah dan guru ter-lain-lain. Gue sampe capek nyebutinnya." Nada memalingkan muka, memilih memandang sulur tanaman yang merambat di tembok pembatas.

Gema NadaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang