GN-15

13 3 2
                                    

Kalian tahu? Sebenarnya langit di atas sana melihat kita. Menyaksikan setiap perubahan demi perubahan yang dilakukan manusia demi kenyamanan. Pohon-pohon turut merasakan apa yang kita teriakan. Angin juga mendengar kita yang mengumpat dan menangis saat dunia terlalu kejam untuk disebut tempat tinggal. Sialnya,mereka hanya diam, berperan sebagai saksi alam tanpa pergerakan.

Bukan Nada ingin menghujat semesta. Tapi, sungguh ... Permainannya kali ini sangat keterlaluan untuk Gema. Nada tidak tahu sedalam apa lubang yang kini tercipta di hati cowok itu. Gema sampai di titik ini dengan mengemban banyak sayatan. Apa Nada boleh menempelkan plester di setiap sudut lukanya? Menambal lubang-lubang yang tercipta dan membalut retakan-retakan yang ada? Nada ingin melakukan itu. Mungkin itu akan terjadi nanti. Setidaknya, Gema tidak merasa sendirian untuk saat ini.

Nada masih setia dengan kedua tangan yang menutupi mulut. Nada terkejut! Sangat terkejut. Dia terlalu hafal maksud kalimat Gema barusan. Biarkan Nada bengong sebentar.

"Gema lo—"

Belum habis apa yang akan nada ucapkan, Sebuah rekaman percakapan dua orang diputar. Percakapan yang Gema dengar tempo hari di ruang guru. Nada meremas dadanya. Oksigen di sini seakan tidak cukup. Sesak.

Lain halnya dengan Gema. Kukunya memutih seiring dengan kepalan tangan yang semakin dalam. Wajahnya merah padam.

"Gue cuman tau suara Ayah, nggak tau siapa orang yang satunya. Kita punya ini, seenggaknya bakal lebih mudah buat nyari. Lo ada ide itu suara siapa?"

"S-sama kayak Lo. Gue cuman taunya suara Pak Andi." Nada susah payah merespon, sampai tergagap saking terkejutnya.

"Dia kuncinya. Karena jelas dia menentang apa yang ayah lakuin."

Hening. Suara alam mendominasi. Ini rumit kawan. Pantas saja setiap kasus tertutup mulus. Tidak heran jika setiap kejadian tidak tercium jejak, karena pelakunya memang tidak sembarangan. Tidak tanggung-tanggung, Pemilik sekolah itu sendiri dalang di baliknya.

"Gem, Lo baik-baik aja?"

Tatap keduanya bertemu. Gema lebih dulu melempar pandang ke danau dibarengi senyum kecut.

"Nggak lah, bego."

Nada masih menatap Gema. Ternyata Tuhan sangat baik, Dia memberikan pahatan wajah Gema indah dari berbagai sisi. Samping selalu menjadi bagian yang paling Nada suka dari Gema.

"Lo berhak benci, Gem. Lo berhak kecewa. Tapi, jangan jadiin itu dendam mendalam. Jangan sampai Lo jijik ketemu sama Ayah Lo sendiri. Manusia gudangnya salah, manusia tempat paling nyaman untuk para dosa bersemayam. Gue akui, Ayah Lo salah banget di sini. Tapi, Lo juga salah kalau ngebiarin dia. Untuk sekarang dia butuh Lo sebagai pengingat, Gem. Rengkuh dia, kalau Lo lupa caranya, gue bisa bantu." Nada Tersenyum. Kali ini matanya menerawang angkasa. Ah senja hari ini terasa berbeda. Apa hanya perasaan Nada saja? Atau karena ada Gema di sampingnya? Ha.ha.ha.

"Sebenarnya Gem, gue ngomong gitu sekaligus buat diri gue sendiri. Banyak orang yang patah. Mereka punya jalan sendiri-sendiri buat kecewa. Dari sini gue sadar, ternyata apa yang gue alami nggak separah orang-orang. Ibaratnya gue cuman retak dan masih ada kesempatan buat di balut. Tinggal gue yang milih, mau dibiarin atau diobatin."

Gema masih enggan bersuara. Masih menikmati setiap kata yang keluar dari mulut Nada. Ternyata jika terbuka dengan orang yang tepat rasanya sangat menyenangkan. Beban lebih ringan plus dapat wejangan.

"Mungkin ini cara Tuhan buat nyembuhin keluarga Lo, Gem. Lewat kesalahan. Tuhan mau, Lo terlibat kasus ini dan nyadarin Ayah Lo. Akhirnya Lo deket lagi deh. Ah ... Skenario Tuhan emang paling top. Hampir bikin gue jantungan." Nada tertawa, disusul oleh Gema. Tidak tahu apa yang mereka tertawakan, yang jelas mereka tertawa lepas.

Gema NadaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang