GN-10

17 4 26
                                    

Gema memarkirkan motornya. Tanpa basa-basi ikut duduk di samping cowok yang memakai jaket Levis.

"Udah lama, bro?"

"Bentaran doang, baru duduk sekitar dua jam-an."

Gema tertawa. Tawanya melebur bersama angin malam yang menusuk. Warung pinggir jalan ini sedikit ramai. Tapi, tidak sedikit pun mengganggunya.

Menghirup udara malam seperti ini membuat Gema merasa bebas. Tidak ada sesak yang mengikat atau hampa yang mengusik. Di tengah keramaian, Gema bisa membuang rasa sakitnya sementara. Pikirannya akan ringan meski banyak beban. Melihat jalanan yang dilewati banyak kendaraan, mendengar orang-orang berbicara, atau hanya melihat-lihat lampu jalanan kota. Gema sedikit terhibur.

"Tentang si Desi. Ternyata dia emang bilang ada urusan sama gurunya. Tapi, dia nggak bilang guru yang mana. Kata temennya, terakhir liat Desi pas pulang sekolah. Si Desi nggak pulang dan malah ke perpustakaan. Udah itu, nggak ada kabar lagi."

Gema sudah tahu apa yang terjadi dengan Desi selanjutnya. Gema hanya ingin memastikan, siapa guru yang ditemui.

"Oh! Ini tentang Visca. Sumpah gue kaget banget pas tau."

Gema menatap Aris serius. Kunci motor yang sedari tadi dia mainkan terhenti.

Aris mencondongkan kepalanya ke telinga Gema. "Visca juga sama."

Tidak ada pergerakan dari Gema. Jujur, ini bukan yang ingin Gema dengar. Informasi ini sama saja memberitahu Gema betapa seriusnya masalah yang menimpa. Terlebih nyawa Nada jelas-jelas dalam bahaya.

"Visca juga sebenarnya bukan pindah. Dia hilang. Dan kasusnya sama kayak si Desi. Dia juga bilang sama orang rumah ada urusan sama gurunya, tapi nggak balik lagi. Lo tau? Ibunya sampai gila, sekarang dirawat di RSJ. Secara si Visca katanya anak tunggal, ibunya bener-bener terguncang." Aris mengakhiri kalimatnya dengan helaan nafas, lalu meneguk teh manis hangat yang sudah tidak beruap. Mungkin Aris tidak menyangka jika sekolahnya menyimpan sejuta misteri.

Sudah dikatakan, Aris adalah satu-satunya orang di mana Gema tidak bisa berpura-pura. Apa yang Gema rasa, Aris pasti tahu. Apa yang Gema butuh, Aris pasti bantu. Begitupun sebaliknya. Gema sebelumnya meminta Aris untuk menelusuri sesuatu dan inilah hasilnya.

"Gue nggak tau udah berapa kasus yang ditutupi sama sekolah." Hanya itu yang mampu keluar dari mulut Gema. Ini sungguh berat untuk anak seusianya. Ingatkan Gema kalau dia hanya anak kelas Dua belas SMA.

"Atau Lo mau lapor polisi?"

"Jangan bego. Masalah bakal makin rumit kalau ngelibatin polisi."

"Tapi ini bukan masalah sepele anjir."

"Makanya, karena ini bukan masalah sepele jadi jangan bawa polisi. Lo pikir aja, seberapa nekadnya si pelaku kalau tau ada polisi yang ngincar dia? Pelakunya bukan orang sembarangan. Dia ... Psikopat. Sakit jiwa."

"Ngeri gue denger Lo ngomong begituan."

Gema menyambar teh manis di depannya. Jika terus memikirkan masalah ini, bisa-bisa kepalanya meledak. Apalagi ditambah rasa ingin melindungi seseorang dalam dirinya membuat Gema kewalahan dan ketakutan. Takut orang yang setengah mati dia jaga berakhir mati karena kegagalannya. Gema akan merasa bersalah.

"Btw, kenapa Lo ngajak ketemu di sini? 'kan bisa di rumah gue, sekalian Lo numpang tidur."

"Lupa."

"Bego."

Gema merogoh saku, mengambil handphone untuk meminta bantuan seseorang. Setelah dipastikan orang itu mau, Gema mematikan sambungan.

Gema NadaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang