GN-17

7 1 0
                                    

Siang yang 'mengagumkan' hm.  Tidak hanya taman yang mengerikan, situasinya pun sangat mencekam. Fika membungkam mulut Nada dan menariknya ke tumpukan barang-barang yang sudah tidak terpakai. Karena tempat ini terbengkalai banyak kursi, meja, dan alat-alat olahraga yang sudah tidak terpakai di simpan di sini. Fika dan Nada kini ada di balik meja-meja yang menumpuk. Bersembunyi.

"Mphh ... mm lep-phas." Nada berusaha menarik tangan Fika yang menutup mulutnya.

"Sst! Diem!"

Terdengar ketukan hak sepatu di sekitar mereka. Sialnya, suara itu mendekat. Nada memegang dadanya, secara tidak sengaja dia sampai menahan nafas. Namun, tidak lama suara langkah itu kembali menjauh.

"Gila, jantung gue rasanya mau berhenti." Fika melepas tangannya dari mulut Nada, lalu mengelapkan pada seragam Cewek itu.

"Fiii ihh, Lo jorok!"

"Ini bekas jigong Lo, Nad."

"Ck. Gue kaget anjir Lo tiba-tiba nutup mulut gue sambil narik-narik."

Fika menaikan sedikit kepalanya, bermaksud melihat situasi.

"Gue tadi denger pintu ditutup, terus liat bayangan orang. Ya, jaga-jaga aja sih, takut bukan orang bener."

Kenapa Nada tidak mendengar apapun? Ah mungkin dia harus rajin-rajin membersihkan kotoran di telinganya.

Mereka masih di tempat yang sama, belum ada niatan untuk keluar dari tempat persembunyiannya.

Fika berbisik, "Nad, gue pernah liat Visca. Dia ... Nggak utuh."

Nada membungkam mulutnya sendiri untuk meredam teriakan yang akan keluar. Astaga! Kenapa selama ini Fika terlihat santai-santai saja? Patut diacungi delapan jempol.

"Daebak!  Gue nggak nyangka Lo liat hal yang sama. Gue pikir cuman gue aja."

"Lo liat Visca juga?"

Nada menggeleng, "Desi."

Kini giliran Fika yang menutup mulut. "Desi juga?"

Nada meringis saat mendengar kata 'juga' di kalimat Fika. Itu terkesan seperti sudah banyak korban. Dan Nada tidak sanggup membayangkan.

"Lo inget pas gue bilang ada masalah keluarga? Hari itu, pulang sekolah gue nggak pulang, gue tiduran di UKS sampai ketiduran. Terus ada yang teriak-teriak.  Niatnya gue nggak mau peduli, tapi di lorong gue liat Visca tanpa nyawa. Badannya udah nggak utuh– ah astaga! gue bahkan masih mual setiap ingat itu."

Nada kembali memutar memori yang terselip-selip. Darah, Desi, baju seragam robek, kaki putus, dan ketukan hak sepatu. Semua kembali memenuhi kepalanya tanpa ba-bi-bu. Nada memegangi perutnya, benar kata Fika, dia saja masih mual saat mengingat semua.

"SETAN! Berarti Lo tau dong sekolah ini bahaya. Terus kenapa waktu itu Lo masih ngebiarin gue dikunci sendirian di kelas?! Nggak ada akhlak!"

"Testimoni." Fika tertawa pelan.

"Nggak sekalian Lo kasih gue racun tikus buat testimoni? Kali aja gue nggak mati."

"Ide bagus."

Tertawa sebentar lalu kembali diam. Hingga Fika kembali memecah hening.

"Gue heran, kenapa dari semua anggota tubuh, cuman muka yang kayak nggak disentuh?"

"Muka Visca juga?"

Mendengar pertanyaan Nada yang menggunakan embel-embel 'juga', Fika tahu jika keadaan Desi sama.

"Sayang banget gue nggak liat pembunuhnya." Fika keluar dari balik tumpukan meja, tubuhnya menegang seketika.

Gema NadaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang