GN-16

15 2 0
                                    

Mari pejamkan mata sebentar. Apa yang kamu bayangkan dalam kegelapan itu? Menjadi orang kaya? Menikah dengan idol Korea? Atau ... Hampa. Seperti tidak ada lagi yang kamu inginkan selain hidup tenang.

"Woi, udah malem. Masuk! Ntar meriang lo."

Gema sontak membuka mata. Dunia gelap dengan kerlip lampu yang terhampar menyambutnya. Dari balkon kamar Aris, malam selalu terlihat menakjubkan. Lantai dua yang disuguhkan dengan hamparan kota.

"Cih! gue bukan cewek."

"Lo pikir cuman cewek yang bisa meriang? Sinting."

Gema masih setia dengan posisinya. Tetap memandang lurus ke depan. Gema tahu, yang di ucapkan Aris memang demi kebaikannya. Memang, jika bukan Aris, siapa yang akan peduli padanya? Tapi– ayolah ... Gema bukan bayi yang harus selalu di perhatikan sampai hal sekecil ini. Dia tahu daya tahan tubuhnya akan bertahan sampai kapan. Terkadang Gema jijik dengan tingkah Aris.

"Kenapa? Tampang Lo kayaknya pengin ditanya gitu."

Gema terkekeh. Astaga benar 'kan? Hanya Aris yang mengerti tanpa perlu dijelaskan secara rinci.

"Lo tau 'kan kalau gue nggak pernah ikut campur urusan orang? Sekalinya ikut campur, gue bakal tanggung jawab secara penuh atas hidup orang itu."

Aris mengangguk dalam diam.

"Awalnya gue nggak sengaja ketemu. Tapi ternyata, ketidaksengajaan itu bikin garis tipis yang gue lupain muncul lagi. Rasa takut, simpati, dan nggak mau kehilangan akhirnya kembali. Sekarang gue ngerasa jadi manusia yang punya hati."

"Ngeri anjir. Menurut Lo, selama ini Lo hidup tanpa hati? Terus kenapa Lo nggak mati?"

"Ck. Nggak usah pura-pura bego deh."

Aris tergelak. "Lagian pemilihan diksi Lo ambigu."

Gema hanya berdecak. Malas jika Aris sudah dalam mode kocak.

"Gem, Lo harus inget ini, 'besok atau lusa Lo pasti menemukan hal sama' entah itu kegagalan, perasaan atau bahkan kebodohan. Roda memang berputar, tapi Lo lupa kalau roda itu pasti menemukan posisi semula. Tinggal masalah waktu aja kapan itu tiba."

"Sama kayak semua perasaan yang tadi Lo jabarin. Dulu perasaan itu cuman ada buat Tante Ana. Setelah dia pergi perasaan itu juga ikut pergi. Dan sekarang kembali lagi ke titik awal mulanya. Perasaan itu ada buat Nada 'kan?"

Gema sudah tidak tahu harus menjawab apa. Dia hanya mampu tersenyum pada angkasa. Terima kasih telah menghadirkan Aris di sisinya, oh– tambahkan juga Nada.

***

Pagi-pagi sekali Nada sudah hadir dengan senyuman. Membuat Fika yang baru datang celingak-celinguk ke seisi kelas. Fika sampai merinding. Nada di depannya tengah tersenyum seorang diri di dalam kelas yang benar-benar sepi.

"Permisi, mbak ada masalah apa sama temen saya? Ayolah mbak, nggak boleh asal masuk ke tubuh orang. Kita punya dunia yang beda. Kalau temen saya ada salah tolong dimaafin, Soalnya dia emang biang masalah. Yuk, mbak, keluar pelan-pelan."

Pukulan di kepala berhasil di dapatkan Fika. Nada memukul tanpa aba-aba. "Gue nggak kerasukan!"

"SAKIT BEGO!"

"LO YANG BEGO!"

"APA YANG BEGO? DASAR BEGO!"

Sudahlah, hari indah Nada hancur karena Fika. Senyum tadi sudah tergantikan oleh cebikan dan dengusan.

"Ara sama Caca tumben belum datang."

Fika menyodorkan jam tangan yang dia pakai tepat di depan mata Nada, terlalu dekat bahkan.

Gema NadaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang