8. SEBUAH JAWABAN

188 52 125
                                    

Tanpa sadar aku tertidur. Entah untuk berapa lama. Yang kutahu, tiba-tiba saja ada teriakan histeris dan kegelapan di sekitarku. Seperti suara Mbak Kiki. Kemudian terdengar derap sandal jepit karet yang beradu dengan kelompen kayu.

"Kenapa, Mbak? Ada apa?" Terdengar suara panik Ibu.

"Ada maling, Mbak?" Kali ini Ayah.

"Itu ... di sofa ..." Mbak Kiki menjawab dengan terbata-bata. Selang beberapa detik, lampu menyala. Kemudian kulihat kepala Ibu, Ayah, dan Mbak Kiki mengintip dari atas.

"Hai ...." sapaku pada mereka tanpa semangat. Terlihat Mbak Kiki mengembuskan napas lega.

"Wong cuma Ririn kok histeris sih, Mbak?" omel Ibu. Ia masih mengenakan celemek dengan tangan berlumur tepung. Sepertinya sejak aku pulang sekolah, beliau sangat sibuk di dapur. Mungkin mendapat pesanan kue dari Bu RT.

"Ya Kiki kan kaget, Bu. Pulang kuliah pas maghrib. Ruangan masih gelap. Kiki pikir ada mayat di sofa."

"Hush! Ngomongnya itu, lho ..." Ayah buru-buru menyambar ucapan Mbak Kiki. Lalu menoleh padaku yang masih tengkurap di sofa. "Kamu dari kapan di situ, Dek?"

"Dari tadi," jawabku asal.

"Kamu sakit, Rin?" Kali ini Mbak Kiki yang bertanya.

"Nggak, Mbak," jawabku tanpa semangat. "Cuma nggak punya semangat hidup."

"Ini malah ngomongnya lebih ngawur!" ucap Ibu. "Lagian kamu itu, lho. Pulang sekolah kok malah tidur tha, Dek? Sana mandi dulu. Mana sepatu belum dilepas ..." Aku segera bangkit dan menyeret langkah ke kamar sementara Ibu melanjutkan omelannya.

Malam baru menjelang saat aku selesai mandi dan mengganti baju seragamku dengan kaus dan celana pendek. Mbak Kiki sedang menonton TV sembari mengudap kerupuk pedas kesukaannya di ruang tengah. Aku mengempaskan tubuh di sebelahnya dan meraih remot.

"Handuknya dibalikin dulu sana, ah. Jorok amat kamu ...!" omel Mbak Kiki saat melihat kepalaku masih berbalut handuk seperti orang dari Punjabi. Ia mirip Ibu. Sangat menyukai kebersihan dan kerapian. Tetapi tidak mau disebut OCD.

"Entar aja," jawabku. Atau lebih tepatnya menggumam sambil melepas lilitan handuk dan menggosok rambutku perlahan. Saluran TV berganti ke stasiun yang sebentar lagi menayangkan sinetron Shandy Aulia. Aku biasa menonton acara sebelumnya agar tidak tertinggal walaupun kurang suka.

"Ye ... kok diganti?! Mbak lagi nonton berita." Mbak Kiki kembali mengambil remot dari pangkuanku dan memindah ke saluran semula. Aku hanya mendengus, lalu menyampirkan handuk di bahu dan mengambil toples kerupuk dari tangannya. Mbak Kiki terkejut melihat reaksiku. Ia memandang kesal dan siap melontarkan omelannya yang seratus persen mirip Ibu, tetapi batal saat melihat wajahku yang memandang kosong ke layar TV.

"Ada apa sih, Rin?" Aku menoleh pada Mbak Kiki dengan gigi yang sibuk mengunyah. "Mbak lihat, dari kemarin kamu kayak sumpek gitu. Ada masalah di sekolah?"

Kini, giliran aku yang memandangi Mbak Kiki. Aku mendesah dan menyerahkan toples kerupuk ke tangannya kembali.

"Ririn capek, Mbak. Kesel juga," jawabku. "Rasanya pengen pindah sekolah, tapi kasihan Ayah sama Ibu. Nanti keluar biaya banyak lagi."

"Kenapa? Cerita sama Mbak." Aku terdiam sejenak. Mbak Kiki. Di balik keseharian kami yang kadang bertengkar dan sifat obsesifnya pada kebersihan, nyatanya ia adalah orang yang sangat peduli. Mbak Kiki tidak bisa membiarkanku berlarut-larut dalam kesedihan.

"Jadi gini Mbak," Aku memulai curahanku. Menceritakan insiden selembar foto berjudul Couple of the Week yang sampai saat ini aku tidak tahu didapat Ferdi dari mana. Entah dari Norman langsung atau seorang agen rahasia remaja mengirimnya diam-diam ke ruang mading. Kemudian berlanjut pada reaksi ajaib teman-temanku yang berakhir dengan jebakan Dania kemarin malam.

Salah Paham [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang