Aku mendesah sebelum meletakkan kartu rapor UTS-ku di meja. Memandangi angka-angka di kolom nilai yang tidak bisa dibilang bagus, tapi juga tidak terlalu buruk.
"Lumayan," ucapku pada Dania.
"Sama." Ia mengacungkan kartu rapornya.
Hari ini, seminggu setelah UTS dan class meeting, kegiatan belajar kembali normal di SMA Sarasvati. Kelasku tetap ramai seperti sarang lebah. Teman-teman saling bertukar kartu rapor untuk saling melihat nilai masing-masing.
Aku bersyukur, di tengah permasalahan yang kualami sebelumnya, nilai UTS-ku masih selamat. Mungkin, di rumah nanti hanya harus bicara panjang dengan Ayah. Beliau sedikit disiplin mengenai prestasi akademik. Ayah memang tidak pernah menargetkan aku dan Mbak Kiki untuk selalu juara kelas. Tapi setidaknya, kami tetap menunjukkan semangat belajar dan sekolah melalui nilai rapor setiap semester. Termasuk hasil ulangan harian dan UTS. Sementara Ibu cenderung tidak peduli. Beliau lebih memikirkan apakah kami menjaga sopan santun selama ini dan menjalankan ibadah dengan benar atau tidak.
Terdengar suara Dania mendesah.
"Gila, ya," ucapnya.
"Apa?" tanyaku.
"Semester ini banyak cerita." Aku tersenyum padanya.
"Rin, mungkin kamu bosen atau gimana aku nggak tahu. Tapi aku kepingin minta maaf sekali lagi buat semua yang udah aku lakuin kemarin-kemarin.
"Sebagai teman, aku emang kurang peka. Sebenernya aku ngerti kalau perasaan itu nggak bisa dipaksa, tapi ya mungkin aku takut kamu kecewa sama Rifki. Jadi, agak sedikit agresif soal Norman ini," ucapnya.
Setelah perselisihanku dengan seisi kelas beberapa waktu yang lalu, Dania kini lebih berhati-hati saat berbicara kepadaku. Terutama ketika menyebut nama Norman.
"Udahlah, Dan. Aku nggak apa-apa, kok," ucapku.
"Iya. Soalnya udah jadian sama Rifki. Cie ...!"
"Apaan, sih?!" Aku menepuk pundak Dania yang tertawa. Merasakan pipiku tiba-tiba menghangat.
"But, seriously. Aku bener-bener nyesel udah maksa kamu deket buat jadian sama Norman," ucap Dania saat tawanya reda.
"Kalau dipikir-pikir, dipaksa itu nggak enak. Apalagi untuk sesuatu yang nggak kita suka. Aku dan temen-temen kayak bikin kamu semakin menderita. Dan itu salah. Walaupun tujuannya cuma bercanda dan udah dianggep biasa, kayaknya kita bakal mikir-mikir lagi kalau kita memosisikan diri sebagai obyeknya."
Aku tersenyum pada Dania. "Jadi kamu belajar sesuatu juga semester ini?"
"Kita semua belajar sesuatu, Rin," koreksinya. "Eh ngomong-ngomong, aku tadi ketemu Norman pas baru sampai sekolah. Dia, sama cewek gitu."
"Iya. Anak kelas satu," ucapku diiringi anggukan.
"Kamu tahu?" Aku mengangguk sekali lagi.
"Aku yang ngenalin. Cewek itu anggota baru tim voli. Kebetulan udah lama merhatiin Norman. Inget waktu aku sama Rifki abis dari halaman belakang?"
Dania langsung mengangguk.
"Nah. Jadi, karena tahu kalau aku ternyata nggak naksir Norman dan udah punya pacar." Aku tertawa kecil pada Dania. "Ya udah. Aku kenalin mereka aja waktu class meeting kapan hari. Pas kelas 2-A ada pertandingan basket lawan kelas kita kayaknya. Baguslah kalau mereka sekarang deket," ucapku sambil menyimpan kartu rapor ke dalam ransel.
Dania terpana saat mendengar penjelasanku. "Norman mau aja, gitu? Maksudku kan, dia sempat deket sama kamu dan kalian ada masalah. Terus, kamu udah nggak apa-apa sama dia?"
Aku mendesah. "Sebenarnya masih agak canggung, sih. Ya kamu tahulah, setelah kejadian sebelum UTS. Tapi aku nggak bisa terus-terusan marah ke dia, kan? Saatnya belajar memaafkan. Lagipula, cewek itu kayaknya cocok sama Norman."
Dania tersenyum dan mendekatkan kepalanya padaku. "Ini bukan karena kamu akhirnya jadian sama Rifki, kan?"
Ia kembali tertawa saat aku memberengut kepadanya. "Nggak usah dibahas lagi, deh. Dan nggak ada hubungannya, tahu?"
"Oke. Oke. Sorry." Dania mengangkat kedua tangannya tanda menyerah.
"Tapi aku makasih sama kamu, Dan. Udah ngasih tahu Rifki soal aku," ujarku pada Dania.
"Aku nggak ngasih tahu, kok. Dia sendiri yang tiba-tiba tanya setelah ketemu kamu yang habis disidang sekelas waktu itu," jelasnya yang membuatku mengerjap. Apa?
"Rifki ngajak ngomong waktu jam istirahat. Dia tanya kenapa kamu nangis. Ada masalah apa. Terus, dia bilang kalau udah lama punya perasaan suka sama kamu. Aku sendiri kaget waktu dengar soal itu. Nggak nyangka, ya? Tuh cowok nggak cuma jago bikin event, tapi juga pinter nyimpen perasaan."
Aku kembali melempar senyum. Tidak ada yang menyangka memang. Bahkan aku sendiri. Segala drama awal semester ini benar-benar menguras tenaga dan pikiran. Semoga saja tidak ada drama lain di sisa semester ini dan di tahun terakhir kami nanti.
"Aku malah kepikiran kalau kamu bakal jadian sama Frans," ucap Dania lagi. "Kalau dilihat-lihat, dia lumayan juga. Bisa tuh dijadiin pacar beneran." Ia terkekeh sementara aku mendelik kepadanya.
"Kamu aja sana kalau mau," ujarku. "Tuh anak persis kayak Putra. Ganteng, berprestasi, banyak yang suka. Tapi, narsisnya amit-amit. Udah gitu ogah berkomitmen." Aku mengedikkan bahu seolah jijik.
Setelah kejadian aku 'disidang' oleh seluruh kelas waktu itu, hubunganku dengan Frans memang semakin dekat. Tapi, hubungan kami tidak lebih dari teman. Aku menganggap Frans seperti kakakku sendiri. Ia memang menyenangkan dan bisa diajak gila bersama. Tapi untuk menjadikannya sebagai pasangan, sepertinya tidak ada dalam daftar keinginanku. Lagipula, Frans sendiri bukan tipikal cowok yang ingin cepat-cepat menjalin hubungan. Ia ingin menikmati masa SMA-nya tanpa harus diwarnai drama pacaran seperti yang dialami teman-temannya.
Dan setelah mengunjungiku bersama Putra ke rumah sebelum hari UTS, ia jadi cukup rajin datang. Kadang-kadang hanya untuk mengobrol denganku, atau mengajak jalan. Kadang bersama Putra, kadang sendiri. Kalau sedang tidak datang, kami hanya mengobrol melalui pesan singkat. Setelah kunjungan pertamanya ke rumahku, kami sempat bertukar nomor ponsel.
Tapi gara-gara kunjungan Frans yang rajin itu, Mbak Kiki serta kedua orang tuaku sempat mengira jika kami berdua betul-betul berpacaran. Dan aku berkali-kali harus meyakinkan mereka jika tidak ada yang istimewa di antara kami. Sekarang, setelah tahu jika aku dan Rifki telah resmi jadian, ia sudah jarang datang ke rumah untuk menghormati pacarku. Tapi kami tetap berteman baik.
Aku dan Dania masih mengobrol saat ponsel flip-ku di kolong meja bergetar dan membunyikan tanda ada pesan masuk. Segera kuambil benda tersebut.
"Siapa?" tanya Dania saat aku membuka ponsel.
"Rifki." Aku tersenyum sekilas padanya sebelum mengetik pesan balasan kepada pacarku.
"Duh ... mentang-mentang yang udah pacaran, sekarang rajin SMS, nih."
"Apa sih, Dan?! Rese, ah." Dania terbahak saat aku mendorong bahunya sementara kelas kami belum menunjukkan tanda-tanda akan tenang.
♥ ♥ ♥

KAMU SEDANG MEMBACA
Salah Paham [TAMAT]
Fiksi RemajaAuthor's note : judul sebelumnya 'Fiksi'. Bagaimana sih rasanya terkenal? Namaku Karina Aulia. Cuma murid SMA biasa. Tidak terlalu populer walau temanku di mana-mana. Tapi mendadak, seantero sekolah jadi memerhatikanku. Setiap aku lewat, ada saja ya...