14. RENCANA

156 43 111
                                        

Tadinya, aku pikir akan menunggu sampai satu minggu untuk mendapat SMS dari Putra. Ternyata, keesokan harinya ia menghubungiku ketika jam istirahat dan aku sedang menikmati mi ayam ceker di kantin sekolah sendirian. Putra menelepon. Bukan SMS seperti yang ia janjikan.

"Nanti pulang sekolah ikut ekskul, Rin?" tanya Putra.

"Iya. Aku kan anggota tim voli."

"Kalau izin dulu bisa? Aku mau kita ketemu."

"Aduh ... gimana, ya? Aku udah pernah izin soalnya. Nggak enak kalau bolos latihan lagi."

"Sekali ini, Rin. Bilang aja kalau Eyang meninggal."

"Lha kan Eyang emang udah meninggal dua tahun yang lalu."

"Udah. Bilang gitu aja, repot amat. Nggak bohong ini, kan?!"

Iya juga, sih. pikirku. Akhirnya aku menyetujui ide Putra dan segera mencari Tania usai menghabiskan makan siangku. Untung ia tidak keberatan saat aku kembali izin. Tapi tetap saja, aku tidak bisa melakukan ini terus-terusan. Saat pulang sekolah, aku menitipkan sepedaku ke rumah Pak Jon, penjaga sekolah yang tinggal tepat di belakang gedung SMA Sarasvati dan menuju tempat yang dijanjikan Putra menggunakan angkutan umum seperti yang ia minta.

Ia mengajak bertemu di sebuah taman kota tidak jauh dari sekolahnya. Begitu sampai, aku segera mengirim SMS untuk menanyakan posisinya. Ternyata ia berada tak jauh dari tempatku turun. Putra tidak sendiri, ia bersama seorang cowok yang juga mengenakan seragam sekolah. Aku terpana ketika melihat cowok itu. Sangat mirip dengan gambaran Rizki yang aku buat.

Tinggi, rambut ikal medium, wajah ramah dan sangat Indonesia, tidak terlalu gemuk atau kurus. Ia seperti versi lain Rifki bagiku.

"Ini temanku sesama anggota tim karate sekolah. Namanya Franciscus Xaverius"

"Nggak usah nyebutin lengkap juga, nyet." Teman Putra itu meninju perut sepupuku pelan saat Putra mengenalkan dirinya. Tapi cukup untuk membuat Putra terbatuk dan mengumpat.

"Panggil aja Frans." Ia mengulurkan tangan dan tersenyum ramah padaku.

"Ririn." Aku membalas jabat tangannya masih dengan terpesona. Kemudian beralih pada Putra. "Kok bisa?"

"Ck! Rin ... Rin ...! Di sekolahku nggak ada yang jelek. Kecuali yang nggak percaya diri." Wajahku langsung berubah. Kok aku menyesal sudah bertanya, ya? Sementara Putra dan Frans beradu tos sambil tertawa.

Memang sih, aku pernah dengar kalau sekolah Putra, SMA Yudhistira, tempatnya cowok ganteng. Tapi kalau seganteng-gantengnya cowok dan modelnya kayak Putra semua, aku tidak yakin mau berpacaran dengan salah satu dari mereka.

"Oke ...," ujarku malas. "Terus rencana kamu gimana?"

"Nah. Jadi, aku bawa kamera." Putra mengeluarkan kamera digital dari dalam ranselnya. "Kamu sama Frans jalan aja atau duduk di mana gitu. Ngobrol yang akrab. Pegangan tangan atau apa terserah. Nanti aku foto yang banyak."

"Eu ..." Aku menggumam ragu. Apa tidak masalah? Aku tidak ragu dengan hasil foto Putra. Selain jago olahraga, ia juga jago fotografi. Tapi, Frans ... nanti pacarnya bagaimana?

"Udah nggak apa-apa, Rin. Yuk." Aku terkejut saat Frans tiba-tiba mengalungkan lengannya di bahuku. "Awas kalau fotonya jelek," ancamnya pada Putra. Kemudian mengajakku menjauh sementara Putra mulai beraksi dengan kameranya. Aku juga berharap hasil foto kami bakal bagus. Walau tidak se-spektakuler hasil foto Darwis Triadi.

"Frans." Cowok di sebelahku menoleh. "Kok kamu mau aja sih dimintain tolong Putra?" Ia membuang pandang ke jalan setapak di hadapannya sembari tersenyum. Harus kuakui jika senyumnya memesona seperti Rifki. Aduh, Tuhan. Kenapa aku masih ingat cowok itu, sih? Oke, memang kami satu sekolah dan aku masih bertemu dengannya sesekali. Tapi jujur saja, rasanya sakit mengingat ia menyelamatiku tentang Norman.

Salah Paham [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang