Aku melempar tas punggung ke sudut tempat tidur saat tiba di kamarku. Hari ini, aku melewatkan jadwal latihan voli kembali, tetapi tanpa memberi tahu Tania. Sudahlah, aku bisa bilang kepadanya kalau bertemu di sekolah.
Sepanjang waktu di sekolah, aku hanya menghabiskan waktu di perpustakaan dan halaman belakang. Lebih banyak mendengarkan musik melalui walkman atau membaca. Untungnya, tidak ada yang berusaha mencariku. Begitu bel pulang berbunyi, aku bergegas menuju tempat parkir dan mengambil sepedaku lalu pulang. Saat menuntun sepeda, aku tidak sengaja berpapasan dengan Norman yang akan mengambil kendaraannya. Ia mengangkat tangannya dan tersenyum ramah seperti biasa untuk menyapaku. Tanpa pikir panjang, aku langsung mendatanginya. Norman terheran saat melihatku mendekat dan berhenti di depannya. Mungkin ia juga terheran melihat kedua mataku bengkak dan memerah.
"Mulai sekarang," ucapku padanya. "Nggak usah sok akrab dan nyapa aku segala."
"Maksud kamu apa, Rin?" ia bertanya heran. "Aku nggak–"
"Gara-gara kamu," Aku memotong ucapannya. "Semuanya gara-gara kamu! Kalau bukan karena kamu bawa foto itu ke mana-mana dan ketahuan Jaka, aku nggak bakal ngalamin ini, tahu?!
"Aku nggak bakal kejebak nonton bareng kamu dan baca puisi kamu yang bikin mual itu. Aku juga nggak perlu ngadepin temen-temenku yang ngebelain kamu mati-matian. Bilang kalau kamu lebih baik dari Rizki dan lainnya.
"Kamu tahu apa sih soal aku? Hah?! Ngapain masih berusaha ngejar aku?! Lupain aja niat kamu. Cari cewek lain. Jangan harap aku bakal luluh dengan cara kamu, ya. Gara-gara kamu aku sekarang dimusuhin satu kelas. Ini yang kamu mau?! Puas kamu sekarang?!" Norman terpaku di tempatnya. Sementara aku kembali menangis dan menuntun sepedaku menjauh. Beberapa siswa melihatku memarahi dan meneriakinya. Entah apa yang mereka pikirkan, entah gosip apa yang akan segera menyebar. Aku tidak peduli. Hari ini sudah cukup berat.
Aku mengempaskan tubuh ke atas tempat tidur dalam posisi tengkurap. Memejamkan mata dan mencoba tidur agar melupakan kejadian hari ini. Teman-temanku, Norman, Rifki. Ya Tuhan, kenapa kalau mengingat Rifki pikiranku jadi semakin kacau? Cowok itu kenapa, sih? Memangnya dia sengaja biar aku tambah stres atau gimana?!
"Ririn! Kamu sudah pulang?" Terdengar suara Ibu mengetuk dari luar kamar.
"Sudah," jawabku malas.
"Makan dulu, Nduk. Ibu masak kare ayam."
"Nanti aja, Bu. Ngantuk." Sayup-sayup terdengar langkah kaki Ibu yang berlapis sandal jepit karet menjauh dari pintu kamar. Aku kembali melamun. Tetapi entah mengapa, aku malah kembali menangis. Kupukul guling yang sedang kupeluk. Aku benci kalau tiba-tiba menjadi sensitif begini. Mengapa sulit sekali bersikap tegar?
Mungkin karena terlalu lelah setelah banyak menangis, aku akhirnya tertidur. Aku tersadar saat seseorang mengetuk pintu kamarku beberapa kali. Suasana kamar yang temaram menandakan malam telah tiba. Aku lalu bangkit dengan malas dan berjalan menuju pintu setelah menyalakan lampu kamar.
"Bentar ...!" ucapku setelah ketukan yang entah keberapa.
"Hai, Rin!" sapa Mbak Kiki dengan ceria. Tapi kemudian raut wajahnya berubah setelah melihat keadaanku. "Kamu kenapa? Kok berantakan banget?"
"Nggak apa-apa," jawabku malas. Dengan masih mengenakan seragam sekolah dan muka sembab, aku memang terlihat berantakan. Apanya yang nggak apa-apa? "Mbak ada perlu apa?" Pertanyaan itu membuat Mbak Kiki kembali sumringah. Ia tampak tidak sabar menyampaikan sesuatu saat ini.
"Coba tebak, Mbak ada kabar apa?" Ia bertanya.
"Mas Adri baru ngelamar Mbak?" tanyaku balik sambil menyandarkan kepala ke daun pintu. Rasanya ingin rebahan saja. Kepalaku berat sejak bangun tadi. Mendengar jawabanku, wajah Mbak Kirana langsung cemberut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Salah Paham [TAMAT]
Ficção AdolescenteAuthor's note : judul sebelumnya 'Fiksi'. Bagaimana sih rasanya terkenal? Namaku Karina Aulia. Cuma murid SMA biasa. Tidak terlalu populer walau temanku di mana-mana. Tapi mendadak, seantero sekolah jadi memerhatikanku. Setiap aku lewat, ada saja ya...