Sudah dua hari sejak aku membuat pernyataan tentang 'pacarku' dan aku merasakan ketenangan kembali setiap berangkat sekolah. Tidak ada lagi 'teror' tentang Norman dari teman-temanku terutama Dania yang getol sekali mengirimkan salam dari cowok itu. Aku menyadari jika Dania masih merasa janggal dengan 'status' baruku. Tapi siapa yang peduli? Kebahagiaanku lebih penting.
Aku dengan gembira kembali menjalankan peranku sebagai pelajar. Mengikuti setiap mata pelajaran -bahkan yang aku benci- dan berlatih voli setiap sore bersama tim voli putri sekolah. Benar-benar hari yang sempurna. Sayangnya, segala sesuatu yang kita anggap sempurna tidak berjalan lama. Karena teman-temanku sepertinya belum puas dengan pengakuanku.
"Bukti tentang Rizki?" tanyaku kembali kepada Eli, Sarah, Chia, dan teman-teman sekelas lainnya yang menahanku di jam istirahat. Aku merasa aneh. Rasanya seperti selebriti yang sedang dikejar para wartawan gosip untuk dimintai keterangan seputar kehidupan pribadinya. Padahal, apa pentingnya cerita hidupku untuk mereka?
"Iya," jawab Eli. "Kita ngerasa ada yang nggak beres di sini. Kalau emang kamu udah punya pacar, kenapa dia nggak pernah jemput kamu?"
"Betul. Kita juga nggak lihat kamu majang fotonya di Friendster," sahut Chia.
Memang sedang tren di kalangan remaja sekolahku sejak kemunculan media bernama Friendster di internet. Mereka hobi memamerkan foto terbaik atau tulisan yang bersifat narsistik di sana. Bahkan tidak sedikit yang memamerkan foto mesra bersama pacarnya.
"Gini ya El, sekolah dia itu jauh. Pulang ekskul pasti sore. Kalau harus jemput aku dulu, nanti sampe rumah pasti malem." Suaraku terdengar bosan seakan telah menjelaskan hal itu ratusan kali kepada orang yang sama. "Dan Chia, aku nggak suka mamerin Rizki. Kalau aku pajang fotonya di Friendster, kamu mau apa? Naksir dia juga?"
"Ya ... nggak, sih." Chia terlihat salah tingkah dan menggaruk rambut keritingnya. "Kita penasaran aja, Rin. Biasanya orang pacaran kan kemana-mana berdua. Apalagi kalau baru jadian. Kan lagi mesra-mesranya."
"Tapi aku sama Rizki nggak kayak gitu," ucapku. "Ngapain sih kudu pamer kalau udah pacaran? Demi apa, coba?"
"Ya biar temen-temen kamu tahu," jawab Eli.
"Bener. Kalau pas ketemu di luar kan, kita bisa sapa atau gimana ..." sahut Sarah. "Lagian, aneh banget kamu nggak kenalin pacar kamu."
"Kalau orangnya nggak mau dikenalin, terus kamu mau apa?" Teman-temanku saling memandang. Aku rasa, mereka setuju dengan pernyataanku. Sejujurnya, aku merasa panik dalam hati. Khawatir jika rahasiaku terbongkar.
"Kalau gitu, kita mau nanya satu hal," ucap Chia.
"Apa lagi, sih? Kalian tuh nggak puas juga, ya."
"Waktu nembak kamu, Rizki ngasih apa?" Keningku langsung berkerut mendengar pertanyaan Chia.
"Kenapa sih kalian mesti ngurusin hal-hal kayak gini?" ucapku. "Rizki nggak ngasih apa-apa ke aku. Karena aku emang nggak suka. Kan aku udah cerita, kalau dia cuma dateng ke rumah, ngajak ngobrol, abis itu nembak aku," jelasku seperti yang kubilang pada mereka sebelumnya.
"Lagian, kalau cowok udah ngasih-ngasih kita barang, bisa jadi dia nggak tulus. Tahu?!" tandasku sebelum menyuruh mereka menyingkir dan melangkah pergi. Samar-samar, aku mendengar seseorang dari mereka bicara.
"Berarti waktu kemarin si Wahyu ngasih aku bunga, ada maunya dong?"
Ya, sayang. Aku percaya dengan hal itu. Jawabku dalam hati tanpa menoleh dan berhenti.
Sebenarnya, apa yang aku percayai ini tidak seratus persen betul, sih. Ada cowok yang memang memberi sesuatu untuk menyenangkan seorang cewek. Bukan selalu ada maunya. Tapi kalau diingat-ingat, karena aku belum pernah menerima hadiah apapun dari cowok, aku tidak menganggap jika pemberian hadiah adalah suatu keharusan. Makanya aku membuat karakter Rizki tidak terlalu romantis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Salah Paham [TAMAT]
Подростковая литератураAuthor's note : judul sebelumnya 'Fiksi'. Bagaimana sih rasanya terkenal? Namaku Karina Aulia. Cuma murid SMA biasa. Tidak terlalu populer walau temanku di mana-mana. Tapi mendadak, seantero sekolah jadi memerhatikanku. Setiap aku lewat, ada saja ya...