18. BICARA

140 40 135
                                    

"Rantainya putus di mana, Rin?" tanya Norman.

"Sebelum tikungan itu." Aku menunjuk arah jalan yang kulewati beberapa saat lalu. Norman mengangguk-angguk sementara aku melempar pandang ke sepedaku yang sedang ditangani seorang pemuda yang sepertinya anak dari pemilik bengkel, bapak-bapak yang kutanya saat baru datang tadi. Ia sedang menambal ban motor bebek, yang kurasa milik Norman.

Jika ingin, sebenarnya aku lebih memilih untuk mencari bengkel lain saja. Tapi tempatnya cukup jauh. Dan aku bisa pulang kemalaman. Jadi dengan terpaksa, aku membetulkan rantai sepeda di kios ini dan menunggu di bangku bambu bersama dengan Norman. Jangan salah paham dulu. Aku menempati bangku itu sendiri. Sementara Norman pindah duduk di atas bangku plastik yang warnanya telah pudar di sebelah bangku bambu.

Aku terpaksa membalas sapaannya ketika melihat kedatanganku dan menjawab pertanyaan basa-basinya. Selebihnya, aku tidak berminat mengajaknya bicara setelah apa yang kualami hari ini 'berkat' tindakannya yang ... huh, sudahlah. Aku hanya berharap rantai sepedaku cepat selesai dan segera pulang.

"Rin." Aku menoleh saat Norman memanggil. "Sorry."

"Maaf buat apa?"

"Ya ... kalau selama ini bikin kamu nggak nyaman." Aku melempar pandang ke jalanan di depan bengkel. Ada perasaan bersalah yang tiba-tiba menyergap saat mendengar ucapannya.

"Nggak apa-apa," ucapku. "Maaf juga kalau, sikapku nggak baik ke kamu." Terdengar dengusan pelan. Saat aku menoleh, Norman sedang memandang ke arah lain dan tersenyum. Hei, dia manis juga kalau seperti itu. pikirku. Aku cepat-cepat membuang pandang ke arah sepedaku yang sedang dibetulkan saat ia tiba-tiba menoleh.

"Nggak apa-apa kok, Rin," ucapnya. "Wajar kalau sikap kamu kayak gitu."

Ia kembali tersenyum. Rasanya suasana saat ini sedikit canggung. Sementara Bapak pemilik bengkel dan anaknya masih memperbaiki kendaraan kami dengan sesekali mengobrol.

"Lagian, kamu kenapa sih pake naksir aku segala?" Aku memandang ke jalanan kembali untuk menghindari tatapan Norman.

"Emang nggak boleh?"

"Ya nggak lah," sahutku sambil menoleh padanya. "Kamu salah kalau naksir aku. Aku nggak kayak Dania yang selalu kelihatan cantik, atau Kemala yang kalem."

Aku mendesah dan melipat tangan.

"Harusnya kamu pilih cewek lain buat ditaksir. Di kelas kamu kan banyak. Atau mungkin adik kelas atau kakak kelas? Banyak tuh yang lebih baik dari aku."

Lagi-lagi Norman tersenyum.

"Menurutku nggak ada yang salah dari kamu," ucapnya. "Kamu emang nggak sama kayak Dania, Kemala, atau Tania, Kapten kamu. Kamu adalah diri kamu sendiri. Cewek paling unik yang aku tahu."

Ia menarik napas sebelum lanjut bicara, "Menurutku, kamu menarik. Kamu nggak jaim. Bebas ngelakuin apa yang kamu mau dan berekspresi apa aja tanpa takut dicela orang. Kamu juga nggak pilih-pilih teman."

Ia kembali melempar senyumnya –yang manis-

"Dania mungkin udah pernah cerita. Kalau aku udah suka sama kamu sejak kelas satu," ujarnya. "Kamu tahu nggak kenapa? Karena kamu suka nolong dan bantu orang secara ikhlas. Mungkin kamu udah lupa atau nggak ada yang merhatiin. Tapi entah kenapa, aku selalu lihat. Di sekolah, bahkan waktu angkatan kita liburan ke Selorejo bareng. Aku nggak menyukai seseorang karena fisiknya, Rin."

Aku berdeham kecil karena salah tingkah mendapat tatapan Norman sejak tadi. Dan pengakuannya itu, membuatku sedikit canggung. Aku tidak terbiasa dipuji secara langsung seperti ini.

Salah Paham [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang