Hari-hari penuh badaiku sepertinya kembali. Aku merasakannya saat keesokan hari kembali ke sekolah. Mendadak seluruh SMA Sarasvati berbalik memusuhiku. Pasti gara-gara puisi itu. Ferdi belum menurunkannya dari mading. Dan aku tidak mengerti kenapa ancamanku hanya berlaku sebentar untuknya.
"Aku udah lihat fotonya. Emang ganteng banget, sih."
"Katanya dia itu atlet karate."
"Iya, sih. Emang cewek maunya punya cowok yang serba superior. Tapi adil nggak, sih?"
"Menurutku, mending dia sama Norman aja, deh."
"Iya. Daripada sama cowok nggak jelas. Apalagi beda sekolah."
"Siapa yang tahu kalau cowoknya nggak selingkuh di sana?"
Cewek-cewek itu ...! Kenapa mereka jadi ramai-ramai membela Norman, sih?! Terus kesannya aku dosa banget karena menolak cowok itu. Rasanya ingin kupatahkan saja sendok bubur ayamku saat ini. Tapi sayang aku tidak memiliki ilmu kanuragan seperti Arya Kamandanu. Akhirnya aku meninggalkan kantin di puncak keramaiannya setelah mendengar ucapan-ucapan tadi, dan mengembalikan mangkuk bubur ayam yang baru kumakan beberapa suap. Aku tidak bisa menunda untuk bicara dengan Kemala. Ia yang harus memberi ultimatum kepada pacarnya. Kalau aku hanya mengandalkan ancaman yang pernah kulakukan, tidak ada efek yang cukup membuat cowok itu jera untuk berhenti memuat segala sesuatu yang dikirim Norman.
Tidak sulit menemukan Kemala. Ia sekelas denganku. Dan hampir tidak pernah meninggalkan mejanya saat jam istirahat. Benar saja. Saat aku kembali ke kelas, Kemala tidak kemana-mana. Aku segera mendatangi cewek itu di bangkunya dan meminta waktu untuk bicara.
"Please. Kamu harus bantu aku," ucapku pada Kemala setelah menjelaskan padanya apa yang terjadi. Kemala jarang istirahat ke kantin. Ia selalu membawa bekal karena sedang berproses menjadi seorang vegetarian. Kemala duduk di bagian tengah dari barisan bangkuku. Wajahnya berbentuk oval dengan dagu runcing yang mirip manekin membuatnya unik. Ditambah lagi dengan ekspresinya yang cenderung datar sehingga mengesankan cewek ini tidak memiliki perasaan.
"Kamu kan bisa ngomong sendiri sama Ferdi," ucap Kemala sebelum menyuapkan salad caesar-nya. Ia tampak tak acuh.
"Mal. Kalau aja bisa, aku udah ngomong dari kemarin. Aku aja baru baca puisinya kemarin sore. Pas mau cari Ferdi, dia udah pulang," jawabku. "Tolong deh, Mal. Tuh anak cuma nurut sama kamu. Pas kejadian foto itu aja, aku kudu ngancem dulu biar dia nurut." Aku membuang napas berat sambil menopang kepala.
"Ya udah. Kamu kan bisa ancem dia lagi."
Aku mencureng pada Kemala. Kenapa sih, teman-temanku ini hampir semua setipe dengan pacarnya? Jika Dania dan Jaka sama liciknya, Kemala dan Ferdi sama cueknya.
"Percuma. Besok-besok, kalau Norman ngirim sesuatu lagi ke mading, bakal dipajang juga sama dia," ujarku. "Makanya aku minta tolong kamu. Sekalian ngomong ke dia, jangan pernah terima apapun kiriman dari Norman selama itu masih tentang aku. Kecuali kamu tega lihat aku menderita kayak gini."
Kemala mengunyah suapan terakhir saladnya sambil melihatku. Sepertinya ia berpikir jika apa yang kukatakan ada benarnya.
"Oke. Habis ini aku ke Ferdi," ucapnya sebelum meminum air mineral dari botol yang ia selalu bawa setiap hari.
"Makasih ya, Mal." Kemala mengangguk untuk menjawab ucapanku.
Selain dewasa, Kemala juga dikenal tidak pernah mengingkari ucapannya. Ia benar-benar menemui Ferdi usai menuntaskan makan siangnya. Saat itu, jam istirahat hanya tersisa sekitar sepuluh menit. Dan tepat sebelum tanda masuk selanjutnya berbunyi, Kemala sudah kembali ke kelas.
"Aku udah ngomong ke Ferdi, Rin. Kamu nggak usah khawatir lagi, ya," ucapnya sambil menepuk bahuku.
Aku sempat terbengong selama beberapa saat sebelum mengucapkan terima kasih. Kemala menjawab dengan anggukan dan senyum singkat sebelum menuju bangkunya.
Entah apa yang Kemala ucapkan pada cowoknya, sehingga aku tidak melihat puisi patah hati Norman terpajang di mading lagi pada saat pulang sekolah. Tapi itu tidak menghentikan kasak-kusuk di belakangku. Sepertinya sepanjang hari ini aku mendapat banyak sekali cap dari teman-temanku. Pemilih, sombong, cewek matre, dan entah apa lagi. Semuanya tidak ada yang baik.
Mereka dikasih apa sih sama Norman, sampai membela cowok itu mati-matian? pikirku sembari mengayuh sepeda dalam perjalanan pulang dan menikmati angin sore yang menyejukkan tengkukku setelah latihan singkat bersama tim voli putri.
Oke. Kesannya aku jahat sekali–once again. Bukankah jatuh cinta itu hak setiap manusia? Termasuk aku. Kita berhak memilih ingin bersama siapa suatu saat nanti. Seharusnya aku tidak menghalangi niat Norman untuk mencoba mendekatiku. Tapi masalahnya di sini, semua seperti tiba-tiba terjadi. Foto itu, perasaannya yang disampaikan Dania, suratnya, puisinya, dan–huh!-kemunculannya yang mendadak di bioskop sebelum aku nonton. Aku tidak bisa menerima Norman untuk menyukaiku sementara yang selama ini kupikirkan adalah Rifki. Apalagi menerima caranya mendekatiku. Segala caranya itu bukanlah hal yang aku harapkan dari cowok yang aku sukai.
"Aduh!" Aku tiba-tiba berseru. Pedal sepedaku tiba-tiba terasa longgar. Aku langsung menghentikan laju sepedaku dengan rem tangan. "Yah! Kok putus, sih?!" gerutuku saat berjongkok untuk memeriksa apa yang terjadi dan menemukan rantai sepedaku putus.
Aku berdecak kesal sambil berdiri dan mengamati keadaaan sekitar. Jalan yang biasa kulalui ini melewati salah satu pemukiman yang lalu lintasnya tak terlalu ramai. Sambil menuntun sepeda, aku tetap mengamati sekitar kalau-kalau menemukan bengkel atau apapun itu yang bisa membetulkan kendaraanku satu-satunya ini. Setelah berbelok di sebuah tikungan, aku mengucap syukur karena melihat sebuah bengkel kecil di kejauhan. Setengah berlari, aku segera menuju tempat itu sambil menuntun sepeda.
"Pak, bisa benerin rantai ..." Kalimatku langsung menggantung. "... sepeda?" Kini umpatan dan gerutuan silih berganti meluncur dalam pikiranku. Seorang murid SMA duduk di atas bangku bambu di depan bengkel tersebut. Ia mengangkat pandang saat aku datang dan mengangkat tangan untuk menyapa.
"Hai, Rin," ucapnya yang kujawab dengan anggukan singkat.
Dari 380 murid SMA Sarasvati, kenapa harus Norman yang aku temui di tempat ini?!
♥ ♥ ♥

KAMU SEDANG MEMBACA
Salah Paham [TAMAT]
Teen FictionAuthor's note : judul sebelumnya 'Fiksi'. Bagaimana sih rasanya terkenal? Namaku Karina Aulia. Cuma murid SMA biasa. Tidak terlalu populer walau temanku di mana-mana. Tapi mendadak, seantero sekolah jadi memerhatikanku. Setiap aku lewat, ada saja ya...