19. SIDANG

163 39 120
                                    

Tak terasa, dua hari lagi SMA Sarasvati sudah memasuki masa Ujian Tengah Semester. Saat ini, suasana hatiku tidak bisa dibilang seratus persen tenang. Di satu sisi, aku lega karena tidak lagi menjadi obyek pembicaraan atau mendapat titipan salam dari Norman. Tapi di sisi lain, aku masih merasa terganggu. Karena cowok itu belum mau menyerah untukku. Ia memang tidak lagi menitip salam atau mengirim puisi, tapi selalu menyapaku setiap kami tidak sengaja berpapasan di suatu tempat. Dan kadang-kadang, mengirimkan surat. Tapi kali ini melalui surel.

Yang aku heran, dari mana ia mendapat alamat surelku? Dari Jaka atau Dania? Hanya dua orang itu yang berpotensi untuk membocorkan informasi apapun tentangku. Kalau seperti ini, rasanya aku tidak ingin memiliki teman saja. Tidak ada yang bisa kupercaya dan kuharapkan.

"Nah, tuh anaknya," sahut seseorang saat aku tiba di kelas. Aku melihat sekitar dengan bingung. Hari ini tidak seperti biasanya. Hampir semua bangku telah terisi. Dan semua orang menatapku seakan sudah menunggu kedatanganku.

"Hai," sapaku bingung. Kemudian mengamati kelas kembali. Kenapa aku merasa jika auranya sedang tidak menyenangkan?

"Duduk, Rin. Kita mau ngomong," sahut Eli. Wajahnya terlihat menahan amarah.

"Ya udah, ngomong aja," ucapku tanpa bergerak. Entah mengapa aku tidak ingin menuruti permintaan Eli. "Ada apa, sih?"

"Ririn." Kemala mendatangiku. Lalu menyentuh bahuku sebelum lanjut bicara. "Sebelumnya, kami minta maaf, ya. Kamu bisa duduk dulu? Kami nggak bermaksud"

"Udahlah, Mal. Nggak usah pake basa-basi! Nggak pantes buat tukang tipu kayak dia," sahut Leo dengan muka jengah. Kemala menghela napas dan memejamkan kedua mata bulatnya.

"Tukang tipu?" Aku menyahut pada Leo. "Maksud kamu apa?"

"Kamu nggak usah pura-pura deh, Rin," sahut Dania. Ia kini meninggalkan bangkunya dan bersandar di meja Eli. Kenapa cewek ini ikut-ikutan juga? "Kamu udah bohongin kami, tahu. Malahan, satu sekolah."

"Bohong soal?"

"Rizki," sahut Haris. "Kamu sendiri lupa?"

"Rizki itu sebenernya nggak ada kan, Rin? Dia cuma rekaan kamu, kan?" Jantungku terasa seperti disengat listrik saat Dania mencecar dengan pertanyaan beruntunnya. Tetapi, aku berusah untuk tidak memperlihatkannya kepada mereka.

"Kamu kalau kaget, kaget aja Rin," sahut Sarah. "Kami tahu kalau Rizki cuma tipuan kamu dari Leo. Ngomong, Le."

Leo bangkit dari duduknya. Wajahnya masih terlihat jengah bercampur marah saat mendatangiku. Ia menyodorkan selembar foto di tangannya dengan enggan. Aku mengambil benda itu ragu. Tiba-tiba kurasakan badanku membeku. Itu adalah foto Frans bersama dengan sekumpulan remaja berseragam karate. Selain Frans, aku juga melihat sosok Putra di foto tersebut.

"Nama aslinya Franciscus Xaverius Hendrawan. Murid SMA Yudhistira kelas 2," jelas Leo. "Kamu penasaran gimana aku bisa tahu? Foto ini punya sepupuku. Dia kebetulan satu kelas sama Frans dan ikut ekskul karate juga. Dia juga kenal sama Putra. Sepupu kamu. Dua cowok itu yang bantuin kamu bikin sosok Rizki, kan?"

Lidahku terasa kelu saat mendengar pertanyaan Leo.

"Jangan diem aja, Rin. Jawab," desak suara lain. Entah siapa. Aku rasanya sudah tidak punya nyali memandang teman-teman kelasku.

"Iya," gumamku. Percuma mengelak. Aku tahu hari ini akan terjadi.

"Ya ampun. Kok bisa sih, Rin?" sahut Dania. "Kamu segitu putus asanya sampe harus ngarang soal punya pacar namanya Rizki?"

"Kamu udah ngecewain kami, Rin."

"Cara kamu itu murahan tahu, Rin" Kalimat Leo langsung menggantung saat aku tiba-tiba mengacungkan telunjuk padanya.

Salah Paham [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang