Aku sedang membaca komik 'Detective Conan' sambil mengudap kacang telur saat pintu rumah diketuk.
"Bentar," jawabku sambil bangkit sementara si pengetuk masih membenturkan lekukan jarinya ke daun pintu.
"Halo," sapa seorang laki-laki dengan perawakan tinggi, rambut ikal yang dicepol di puncak kepala, dan wajah berhias brewok tipis.
"Hai, Mas Adri ...!" Aku balas menyapa dengan ceria pada pacar kakakku itu. "Masuk, masuk. Mbak Kiki masih mandi. Bentar lagi selesai, kok." Aku membuka pintu lebih lebar untuk memberi jalan pada Mas Adri.
"Mau ke mana, nih?" Aku berbasa-basi saat Mas Adri duduk di salah satu sofa.
"Biasa. Ke toko buku." Aku membulatkan mulut. Mbak Kiki memang lebih suka ke toko buku daripada mall. Entah apa yang ia cari di sana. Yang pasti, setiap pulang pasti ada saja buku yang dibawa.
"Oh iya, Rin. Nih, pesenan kamu." Mas Adri merogoh saku dalam jaketnya dan mengeluarkan sehelai amplop sedang berwarna putih.
"Yeay! Makasih ya, Mas," ucapku sambil menerima amplop darinya.
"Sama-sama," ucapnya. Aku segera membuka amplop tersebut untuk membaca isinya. Namun segera dicegah oleh Mas Adri. "Kamu bacanya nanti aja. Kalau aku sama Kiki udah pergi."
"Emang kenapa sih?"
"Ya aneh aja. Kalau bukan karena Kiki yang minta, aku nggak mau nulis surat itu."
Aku akhirnya urung mengeluarkan isi amplop yang berupa lembaran kertas terlipat itu dan menaruhnya di antara halaman komik.
"Iya, deh. Yang nurut apa kata Mbak Ki," ujarku.
"Lagian, kamu ngapain sih pake bikin kayak gitu segala?"
"Huh! Mbak Kiki pasti udah cerita lah alasannya ke Mas Adri," jawabku. "Males kalau aku disuruh cerita lagi sama Mas."
"Kamu beruntung, aku punya beberapa jenis tulisan tangan," ujar Mas Adri. "Jenis yang aku pakai buat nulis surat ini sama kartu tempo hari itu, jarang aku pake. Tapi tetep aja, harus nulis surat cinta buat kamu kayak gitu, geli juga." Aku tertawa melihat reaksinya yang begidik ngeri.
"Itung-itung bantu calon iparnya lah, Mas. Nambah pahala," ujarku.
Mas Adri menghela napas sebelum bicara, "Kalau menurutku Rin, daripada kamu bikin pacar fiksi, mendingan kamu teges aja sama temen-temen kamu kalau nggak ada rasa sama cowok yang naksir kamu itu."
"Coba. Mas Adri aja yang ngomong sama mereka," sahutku. "Mas nggak tahu betapa gigihnya ABG jaman sekarang."
"Ya seenggaknya kamu usaha lah. Masa baru sebentar udah nyerah?"
"Nggak lah, Mas. Gini aja dulu. Udah cukup." Mas Adri mengedikkan bahu. Ia enggan memaksaku lebih jauh.
"Atau ...," Tiba-tiba ia bersuara sembari mencondongkan tubuh. "kenapa kamu nggak cari pacar beneran aja? Temen kampus Mas banyak kok yang cakep. Mau dikenalin?"
"Umur Mas Adri berapa?" tanyaku balik.
"23 kurang satu bulan. Ya anggep aja 23 lah."
"Nggak mau," ujarku. "Ketuaan."
"Ya udah. Kamu minta dikenalin aja sama temen-temen Mbak Kiki."
"Huu ... nggak, nggak." Aku buru-buru menggeleng. "Aku nggak suka cowok yang usianya terlalu dewasa. Kalau bisa seumuran. Biar pacarannya seru."
"Ya udah. Kamu cari cowok di sekolah kamu. Masa nggak ada satu pun yang ditaksir?"
"Ada. Tapi, dianya nggak naksir balik. He he ..." Aku memamerkan gigiku.

KAMU SEDANG MEMBACA
Salah Paham [TAMAT]
Ficțiune adolescențiAuthor's note : judul sebelumnya 'Fiksi'. Bagaimana sih rasanya terkenal? Namaku Karina Aulia. Cuma murid SMA biasa. Tidak terlalu populer walau temanku di mana-mana. Tapi mendadak, seantero sekolah jadi memerhatikanku. Setiap aku lewat, ada saja ya...