5. RIFKI

238 62 169
                                        

That's why I need you to hear

I've found a reason for me
To change who I used to be
A reason to start over new
And the reason is you

[Hoobastank – The Reason]

Aku tertawa saat melihat Rifki menirukan gaya panggung Doug Robb, vokalis Hoobastank. Ia menggunakan gulungan buku sebagai pengganti mikrofon saat speaker salah satu unit di laboratorium komputer mengumandangkan hits band alternatif asal Amerika Serikat tersebut.

"Udah, dong. Aku browsing-nya nggak kelar-kelar nih," ujarku sebelum kembali mengarahkan kursor ke kolom laman pencarian.

Sekarang hari selasa. Menjelang jam istirahat, Rifki mengirimkan SMS padaku untuk meminta tolong membantunya membuat konsep acara festival budaya yang akan digelar menjelang libur semester genap nanti. Rifki terinspirasi dari anime yang ditonton oleh adiknya. Ia berpikir, cara itu bisa digunakan untuk mempromosikan sekolah. Tentu saja aku sangat tidak keberatan. Kapan lagi bisa bisa menghabiskan waktu bersama orang yang kita sukai berdua saja? Dan akhirnya di sinilah kami, menguasai lab komputer SMA Sarasvati pada jam istirahat untuk browsing inspirasi event sekolah selanjutnya sambil mendengarkan satu album 'The Reason'.

"Selingan, Rin. Biar nggak pusing-pusing amat," ucapnya sebelum menarik bangku plastik di sebelahku dan mendudukinya.

"Selingan sih selingan. Tapi nggak usah pakai niruin Doug Robb gitu, ah. Aneh tahu lihatnya."

"Masa, sih? Perasaan kamu pernah ngomong kalau aku mirip Doug Robb." Ucapan Rifki langsung membuatku tertawa.

"Kapan aku ngomong gitu? Kepedean amat."

Aku memukul lengannya pelan menggunakan buku catatan di sebelah monitor, sementara Rifki hanya terkekeh. Tapi, menurutku cowok ini memang mirip sama vokalis Hoobastank itu, sih. Walau gaya rambutnya berbeda, tapi bentuk wajah bahkan ekspresinya sewaktu menyanyi cukup mirip. Bedanya, yang sana bule setengah Jepang, sementara yang sekarang masih menggumamkan lagu 'The Reason' di sebelahku ini Jawa tulen.

Rifki berperawakan lebih tinggi sepuluh senti dariku. Dan aku rasa, mengingat kami masih remaja, dia masih akan bertambah tinggi lagi. Wajahnya tak pernah absen tersenyum. Ia ramah pada siapa saja. Dan yang paling aku sukai dari Rifki adalah mata berbentuk almonnya yang menyorot hangat dan meneduhkan. Siapapun yang memandang mata itu, pasti juga merasa hangat. Tidak heran jika ada kalimat mutiara : Cinta itu dari mata turun ke hati. Mungkin itu juga yang kualami.

"Eh, yang ini bagus kayaknya."

Ia tiba-tiba menunjuk salah satu foto gapura sebuah acara festival yang kami temukan di mesin pencari. Aku mendadak canggung karena ia mencondongkan tubuh sampai wajahnya begitu dekat denganku.

"Kamu mau download?" tanyaku dengan suara yang kujaga sewajar mungkin.

"Boleh. Nanti aku diskusiin sama anggota OSIS yang lain."

Aku mengangguk sebelum menekan gambar tersebut.

"Kok nggak minta tolong Dania atau siapa gitu buat browsing?" tanyaku sambil menekan gambar yang dimaksud Rifki. "Aku kan bukan anggota OSIS."

"Kamu keberatan?"

"Nggak gitu." Aku buru-buru menjawab, "Khawatir aja nanti jadi masalah."

Rifki menoleh sekilas padaku sambil tersenyum.

"Nggak apa-apa lah, Rin. Dania kerjaannya udah banyak. Anggota yang lain juga. Jadi aku minta tolong kamu aja. Lagian kamu orangnya kreatif. Pasti ide-idenya out of the box."

"Makasih," ucapku.

"Nanti nama kamu aku masukin ke daftar panitia di proposal, deh." Ucapannya langsung membuatku kembali tertawa.

"Nggak usah, Rif. Aku seneng kok bisa bantu."

"Tapi aku heran, deh. Kok kamu nggak kepilih jadi anggota OSIS, ya?" Aku menoleh padanya yang melihatku sementara komputer sedang loading.

"Kita kan tahu kalau yang gabung ke OSIS sekolah ini harus berprestasi. Kayak kamu."

"Aku kurang setuju, sih. Harusnya yang dipilih emang berbakat dan kreatif, selain karena dia seneng berorganisasi atau berprestasi," ucap Rifki.

"Jujur aja, nih. Ini tahun keduaku jadi anggota OSIS, dan tahun pertama jadi ketua. Menurutku anggota periode kemarin masih lebih baik daripada yang sekarang," imbuhnya.

"Oh, ya? Kok bisa gitu?" Aku jarang mendengar Rifki berkeluh kesah begini.

"Ya ... salah satunya, mereka kurang inisiatif. Nggak tahu deh sebabnya apa. Aku sama Ferdi sering nggak puas setiap habis rapat. Kayak nggak maksimal gitu. Padahal kan ini bisa jadi media latihan mereka sebelum nanti kuliah bahkan masuk dunia kerja. Kakakku yang sekarang tingkat dua dan gabung di BEM kampusnya aja, pasti stress kalau habis rapat buat event. Dia bilang, masih enak jadi anggota OSIS. Di BEM ini dia berasa lagi latihan sebelum pressure yang lebih sadis di tempat kerja." Rifki mendesah sambil melipat tangan dan mengempaskan punggung ke sandaran. Wajahnya terlihat lelah.

Aku belum pernah bertemu dengan kakak Rifki. Tapi, waktu masih satu kelas dulu Rifki pernah bercerita jika ia adalah anak tengah dari tiga bersaudara yang semuanya laki-laki. Mereka semua suka berorganisasi dan sama-sama sibuk di sekolah masing-masing. Aku membayangkan, kalau ketiganya sedang berkumpul, pasti obrolannya tidak jauh berbeda dengan suasana rapat event organizer.

"Eh." Tiba-tiba cowok itu menoleh kepadaku lagi. "Kamu aku rekomendasiin ke guru buat jadi anggota OSIS aja, gimana?"

"Nggak usah, Rif. Udah telat juga kali. Lagian, aku ikut klub voli ini aja udah capek karena latihan terus tiap sore," tolakku. "Tapi kalau kamu butuh bantuanku buat ngerjain sesuatu di OSIS, bilang aja. Insyaallah aku sediain waktu."

Rifki tersenyum, lalu menepuk bahuku. "Makasih ya, Rin."

Aku mengangguk padanya sebelum meraih mouse kembali dan menggerak-gerakkannya.

"Pantes si Norman suka sama kamu, ya. Kamu orangnya baik, sih. Aku aja seneng kita bisa temenan."

Aku menoleh sekilas pada Rifki dan tersenyum samar. Kemudian kembali menghadap layar dengan perasaan yang tiba-tiba tidak karuan. Apa sih maksud kamu ngomong kayak gitu, Rif? Aku nggak ngerti apa-apa soal cowok itu dan nggak habis pikir kenapa dia bisa suka sama aku. Sadar nggak sih kamu, kalau cowok yang aku suka sekarang lagi menyenandungkan Disappear yang mengalun dari speaker yang sama?

Do you know that every time you're near
Everybody else seems far away
So can you come and make them disappear
Make them disappear and we can stay

[Hoobastank – Disappear]

Rifki, bisakah kalau sekarang kamu tak usah singgung siapa-siapa? Cuma kita berdua di lab ini. Jadi tolong jangan rusak momen yang aku suka ini dengan menyebut nama orang yang sedang ingin aku hindari.

"Rin." Aku tersadar saat Rifki menyentuh lenganku.

"Ya, Rif?" Rupanya aku melamun.

"Kamu nggak apa-apa? Sakit?" Wajah Rifki terlihat khawatir.

Aku menggeleng. "Nggak apa-apa, kok."

"Bener? Aku nggak mau kamu sakit, lho. Kemarin aja kamu kayak mau pingsan gitu waktu di selasar." Kalau nggak ngomong begitu kenapa sih, Rif? Lama-lama kan aku bisa kegeeran.

"Beneran, Rifki Priadi." Aku meyakinkannya.

Raut wajah Rifki berubah lega. "Syukur, deh. Kalau kenapa-kenapa, kamu ngomong aja, ya. Jangan kecapekan."

Aku mengangguk sebelum menghadap komputer kembali. Jantungku terasa nyeri dan berdebar bahagia pada saat yang sama. Naksir kamu kok gini amat sih, Rif?

♥ ♥ ♥

Salah Paham [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang