3. KESAL

265 65 181
                                    

Insiden foto Couple of the Week itu benar-benar merusak hari-hariku yang normal dan tenang. Kini jika aku datang ke sekolah, aku menjadi perhatian semua orang. Sesama kelas dua, junior, senior yang aku tidak kenal, beberapa guru, dan terutama, teman-teman sekelasku. Keadaan ini benar-benar membuatku gerah. Aku tidak bisa tenang sekolah kalau setiap datang harus melihat foto itu di mading. Entah mengapa para guru tidak mempermasalahkan foto itu ada di sana. Dan setiap masuk kelas, aku selalu disambut dengan koor sumbang teman-temanku. Jadi hari ini kuputuskan untuk bicara dengan Ferdi agar ia menurunkan foto sialan itu.

"Permisi. Ferdi ada?"

Siang itu, hari ketiga setelah fotoku dan Norman dipajang di mading, aku memutuskan untuk mendatangi ruang mading pada jam istirahat. Bersebelahan dengan Ruang OSIS, ruangan khusus tim mading tidak seberapa luas. Tetapi cukup untuk menampung anggotanya yang berjumlah tujuh orang. Pihak sekolah melengkapi fasilitasnya dengan seperangkat komputer, printer, sebuah meja serta beberapa kursi untuk rapat sekaligus menyiapkan materi.

"Tadi keluar, Kak," jawab salah satu anggotanya. Seorang gadis berponi dan berkaca mata.

"Nyari aku?" Sebuah suara berat berasal dari balik punggungku. Aku menghela napas sebelum berbalik. Seorang murid laki-laki bertubuh tinggi besar, berkulit sawo matang, dengan potongan rambut ala Kobe Bryant ketika baru bergabung dengan LA Lakers, berdiri di sana membawa kardus berisi gulungan karton dengan satu tangan seperti membawa belanjaan dari mini market. "Hai, Rin."

Ferdi menyapa dengan suara datar. Dengan tinggi tubuhku yang hanya 160 cm, berdiri dekat Ferdi jadi seperti kurcaci di sebelah ogre.

"Siapa yang bertanggung jawab soal mading?" Aku bertanya tanpa mengindahkan sapaannya.

"Aku," jawabnya datar.

"Termasuk yang masang segala hal di sana?"

"Yap." Lagi-lagi Ferdi menjawab dengan datar.

"Berarti termasuk foto Couple of the Week itu, kan?"

"Yap."

"Bisa dilepas apa nggak?"

"Nggak," jawab Ferdi sebelum ngeloyor ke dalam ruang mading. Aku langsung terbelalak mendapat reaksi demikian.

"Kok gitu, sih?! Aku keberatan, lho," protesku sambil membuntut di belakangnya. Beberapa anggota mading memandangi kami.

"Yang lain nggak, tuh," ujar Ferdi tenang sambil menghampiri salah satu meja dan meletakkan gulungan karton di sana.

"Ya yang lain kan nggak ada urusannya, Fer," ucapku kesal. Ferdi memutar tubuhnya menghadapku. "Aku nggak suka foto itu ada di mading. So please, lepas fotonya. Kalau perlu, sekalian dibakar."

"Jangan gitu lah, Rin. Kasihan Norman," ucap Ferdi.

"Harusnya yang dikasihani itu aku, Fer!" sahutku dengan suara tinggi bonus gebrakan di meja rapat. Tindakanku itu sukses membuat para anggota mading di ruangan itu perlahan beringsut keluar. Termasuk si murid berponi dan berkaca mata tadi. Meninggalkan komputer dalam keadaan menyala dan file pekerjaan mereka yang belum tersimpan. "Orang-orang bisa salah paham lihat foto itu."

"Orang-orang siapa yang kamu maksud?"

"Ya, teman-temanku. Guru." Rifki, lanjutku dalam hati. "Mereka itu bisa ngira kalau ada apa-apa antara aku sama Norman."

"Bukannya emang iya?" tanya Ferdi penuh selidik.

"Ya nggak, dong ...!" Aku mulai merasa gemas dengan cowok raksasa ini. Kalau bukan karena kalah besar dan tinggi, sudah aku bejek-bejek cowok ini. "Emang kamu dapet foto itu dari siapa, sih?"

Salah Paham [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang