21. MAAF

187 38 95
                                        

Hari ini adalah hari terakhir UTS. Keadaanku masih sama dengan kemarin dan kemarinnya lagi. Mata pelajaran hari terakhir adalah PPKn dan bahasa Indonesia. Aku tidak terlalu ahli dalam keduanya, tetapi juga tidak terlalu kesulitan saat mengerjakan.

Jam pertama adalah PPKn. Aku menyesal tidak membuat catatan semalam. Setidaknya bisa kupelajari dulu sebelum mulai mengerjakan soal. Tetapi, menurutku soal-soalnya juga tidak terlalu sulit. Hanya saja, aku harus sedikit berkonsentrasi. Karena guru kami, Pak Ibnu, banyak membuat soal yang membutuhkan jawaban personal murid-muridnya.

Seharusnya ini mudah, pikirku.

"Ya! Waktu habis." Suara Bu Natasha yang bertugas di 2-C pagi ini menyentakku. "Silakan kumpulkan lembar jawaban kalian." Aku mendesah, lalu memandang lembar jawabanku yang terlihat menyedihkan. Kalau memang harus kena remedial, ya sudah.

Dengan malas, aku maju ke meja guru untuk mengumpulkan lembar jawaban dan langsung berjalan keluar dari kelas. Tapi sebuah tangan menahanku saat tinggal dua langkah lagi menuju pintu. Kemala memegang bahuku. Ia tersenyum saat aku menoleh padanya. Sejujurnya, dibandingkan dengan teman-teman yang 'menyerangku' beberapa hari yang lalu, aku tidak terlalu marah pada Kemala. Ia, bisa dibilang satu-satunya anak kelas yang tidak terlalu memusingkan tindakanku belakangan ini.

"Bisa ngobrol dulu sama kami?" tanya Kemala. Aku melihat ke balik punggungnya. Tidak seorangpun penghuni kelas 2-C yang beranjak dari bangku masing-masing usai mengumpulkan lembar jawaban. Sepertinya mereka  menungguku. Aku mengangguk pada Kemala dan kembali menuju mejaku.

Ia menempati bangku di sebelahku yang tetap kosong sejak kami menghuni kelas ini. Sementara Bu Natasha membereskan lembar jawaban kami sebelum mengucapkan salam kepada seisi kelas.

Sepeninggal Bu Natasha, suasana kelas agak canggung. Kemala berdeham dengan suara normal. Namun terdengar begitu keras di tengah kesunyian kelas. Ia menyapu seisi kelas dengan mata bulatnya.

"Ada yang mau mulai?" Ia bertanya. Namun hening. Bahkan bunyi helaan napas pun tak terdengar. Aku bertanya-tanya, apa yang mereka inginkan dariku?

"Jamal," Kemala memanggil ketua kelas kami. Cowok keturunan Arab itu menoleh dan melebarkan kedua matanya yang sudah lebar. "Harusnya ini tugas kamu, tahu!" Jamal buru-buru menggeleng. Wajahnya terlihat enggan terlibat sesuatu. Kemala berdecih. Tampak kesal dengan Jamal. Lalu menoleh kepadaku.

"Ririn," panggilnya. "Aku mewakili ... eum ... maksudnya, kami semua–tidak ada yang harus diwakili di sini-minta maaf sama kamu. Kami udah jahat sama kamu. Udah bikin kamu kecewa. Kalau dipikir-pikir, apa yang kami lakukan sebelum UTS itu termasuk bullying juga, sih. Bener kan, temen-temen?" Kemala menyapu seluruh kelas kembali.

"Jangan diem aja." Suaranya terdengar datar. Tetapi sebetulnya sangat tegas dan mengancam. Sehingga membuat seisi kelasku kompak mendengungkan 'Iya'.

"Bagus," ucapnya lagi diiringi senyuman tipis. "Jadi, siapa yang mau ngomong duluan ke Ririn?"

Sepintas, Kemala mengingatkanku pada tokoh jahat tapi berwajah polos setelah berhasil menaklukkan lawannya. Aku heran, mengapa bukan dirinya yang terpilih sebagai ketua kelas? Ia lebih mampu menjembatani segala persoalan dibandingkan Jamal. Kalau diingat-ingat, selama ini Kemala lebih banyak berkontribusi untuk kelas ini dibandingkan ketua yang sekarang. Aku penasaran, siapa yang mengusulkan Jamal dulu? Yang jelas bukan aku.

"Ayo, dong. Jangan diem aja." Ia mulai kesal. Namun wajahnya tidak tampak berubah. Beberapa saat sunyi, iapun menghela napas. "Oke. Karena nggak ada yang mau mulai. Dania. Kamu mau ngomong apa sama Ririn?" Dania terkejut saat Kemala menyebut namanya. Ia salah tingkah saat aku menoleh padanya. Kemudian menunduk untuk menghindari pandanganku.

Salah Paham [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang