Pagi ini, aku berangkat sekolah seperti biasa. Dan ngomong-ngomong, hari-hari terakhir ini, hidupku sedikit damai setelah Dania menyaksikan ibuku mengamuk di rumah. Kejadian itu, bagaimanapun, ternyata cukup menolongku. Ia sepertinya percaya jika aku benar-benar berpacaran backstreet. Itu membuatnya sempat menanyakan keadaanku saat keesokan harinya kami bertemu di sekolah sebelum aku janjian dengan Putra dan Frans –maaf aku lupa cerita soal itu-
Dania merasa bersimpati dengan keadaan yang kualami dan memberi dukungan padaku agar tidak menyerah dengan hubungan yang saat ini sedang kujalani. Sumpah, aku rasanya ingin tertawa. Tapi sekuat mungkin kutahan dengan menarik nafas beberapa kali sambil memasang wajah muram. Dan, 'teror' dari Norman juga mulai berkurang. Aku sempat berpikir, mungkin Putra tidak perlu capek-capek memotretku dan Frans.
"Rin."
Aku mengangkat pandang dari buku sejarah yang sedang kubaca. Sarah memanggilku dari bangkunya. "Ada setip? Punyaku ilang."
"Ambil aja di tempat pensil." Aku menunjuk wadah alat tulis bermotif kotak hitam-putih di depanku. Sarah mengucapkan terima kasih sebelum mengambil tempat alat tulisku. Buku sejarah kembali mendapat perhatianku selama beberapa detik sebelum Sarah memanggil namaku lagi.
"Apa lagi?" jawabku malas sambil melihatnya.
"Ini foto siapa?" Sarah mengacungkan selembar foto berukuran 2R. Foto candid Frans dalam balutan seragam karate yang kemarin diberikan oleh Putra. Aku lupa menyimpan foto itu dalam dompet dan membiarkannya menumpuk bersama foto kami yang lain. Pasti Putra yang menyimpannya ke dalam tempat pensil.
"Itu ... foto Rizki," jawabku agak salah tingkah. Dania yang sedang mengetik SMS di ponselnya langsung mengangkat pandang.
"Masa?" Sarah membelalak. Ia melihat foto di tangannya kembali.
"Ya ampun! Pacar kamu ganteng banget, Rin!" ucapnya tanpa menyembunyikan rasa kagum dan terpesona. Ucapan Sarah kontan membuat teman sebangkunya menoleh.
"Eh. Siapa? Siapa?" Ia bertanya antusias.
"Rizki. Pacar Ririn. Nih, fotonya." Teman sebangku Sarah mengambil foto itu. Dania yang penasaran segera berdiri dan ikut melihat foto Frans. Dan dalam sekejap, foto Frans berpindah dari satu tangan ke tangan lain. Diiringi ungkapan kekaguman dari setiap murid perempuan kelas 2-C. Sementara ketika foto itu berpindah ke barisan para cowok :
"Pantesan Norman ditolak si Ririn," celetuk Haris. "Standarnya tinggi begini."
Aku hanya tersenyum menanggapi ucapannya. Foto Frans akhirnya berhenti beredar saat Bu Lilik telah memasuki kelas. Aku sedikit menyesal membiarkan foto Frans dipegang teman-temanku secara sembarangan. Salah satu ujungnya jadi sedikit lembab dan lecek. Untung kualitas kertas fotonya bagus.
"Kok foto Rizki kamu simpan di tempat pensil, sih?" bisik Dania saat pelajaran dimulai. Sementara aku menyelipkan foto Frans di dompetku.
"Tadinya mau aku masukin dompet, tapi lupa." Cewek itu membulatkan mulutnya.
"Kok nggak dari awal aja kamu tunjukin foto Rizki? Aku sempat curiga kalau kamu bohong." Aku memang berbohong, Dan!
"Kan aku udah bilang kalau aku bukan tipikal cewek yang doyan pamerin pacarnya," jawabku. "Lagian, Rizki juga nggak terlalu suka difoto."
"Ada orang yang kayak gitu?" Aku hanya mengedikkan bahu.
"Dia sendiri yang bilang. Makanya, rata-rata foto yang dia punya itu colongan dari temennya. Termasuk yang aku bawa ini," jawabku.
"Hm ... eh, kamu punya foto waktu berdua sama Rizki?"
"Ada."
"Dibawa apa nggak? Lihat dong ...."

KAMU SEDANG MEMBACA
Salah Paham [TAMAT]
Novela JuvenilAuthor's note : judul sebelumnya 'Fiksi'. Bagaimana sih rasanya terkenal? Namaku Karina Aulia. Cuma murid SMA biasa. Tidak terlalu populer walau temanku di mana-mana. Tapi mendadak, seantero sekolah jadi memerhatikanku. Setiap aku lewat, ada saja ya...