Pertengahan Juni, 2018
"Iya. Orangnya masih di sini, kok. Kamu mampir aja. Dia belum buru-buru balik ke Jakarta. Oke. Love you, too." Aku mematikan ponsel sebelum kembali ke dapur. Setelah bernostalgia dengan segala cerita memalukan masa sekolah kami, aku dan Laila memasak bersama untuk makan sore.
"Rifki, ya?" tanya Laila saat aku mendekati kompor dan memeriksa masakan. Kami membuat sop ayam. Tapi lebih banyak aku yang bekerja. Karena yang Laila lakukan hanya duduk di bangku bar dan mengudap kacang bawang resep dari ibuku.
"Iya." Aku mengangguk. "Dia di perjalanan. Mau mampir ke sini," ucapku sebelum mengaduk sop.
"Wah. Kayaknya aku harus pulang, nih. Soalnya suami kamu mau datang." Laila terkekeh saat aku meliriknya tajam.
"Masih tunangan ya, Mbak Penulis Terkenal," koreksiku. "Lagian dia bareng teman baru di kantornya." Aku mematikan kompor usai memastikan sop kami telah matang.
"Kalian buruan nikah aja, udah. Nggak bosen apa pacaran satu dekade lebih?"
Aku tertawa kecil mendengar ucapannya. "Sabar. Nanti juga dapet undangannya," ucapku seraya melepas apron. "Yang ada kamu, tuh. Jomblo nggak udah-udah. Penulis cerita romance terlaris tapi kisah cintanya ngenes."
Laila hanya tersenyum tipis seraya mengunyah. Ia memberi tahu beberapa saat sebelumnya, kedatangannya kali ini bukan sekadar mengajakku reuni, tapi juga memberikanku hadiah novel cetak terbarunya yang langsung sold out dalam waktu satu minggu. Aku ikut bahagia sekaligus sebal karena ia menulis kisahku dan Rifki semasa kami masih SMA dengan beberapa bagian yang didramatisasi.
"Ngomong-ngomong, aku masih nggak terima kamu nulis ceritaku sama Rifki ini, ya," ucapku lagi usai menggantung apron dan duduk di sebelah Laila.
Kali ini Laila tertawa. "Nggak apa-apa dong, Rin. Pembacaku banyak yang suka ini."
"Iya. Tapi bagian aku sama Rifki ciuman di lorong dan halaman belakang itu nggak bener, lho. First kiss kami itu terjadi lima tahun setelah lulus SMA. Tolong catet! Gila aja waktu ABG udah kayak gitu. Bisa dimutilasi mendiang bapakku nanti."
Lagi-lagi Laila tertawa. "Udahlah. Editorku nganggap itu masih wajar, kok. Nggak berlebihan."
"Awas aja kalau Rifki sampai tahu." Lagi-lagi Laila hanya terkekeh. "Eh, La. Reuni kapan hari kenapa nggak datang, sih? Semua pada nyariin kamu."
"Kan aku ada acara sama rumah produksi di Jakarta. Salah satu novelku mau diadaptasi ke layar lebar."
"Wow! Keren banget, kamu." Aku bertepuk tangan bangga. "Ini cerita yang terinspirasi dari kakak kelas itu, bukan?"
"Apa, sih?!" Laila tampak kesal sementara giliran aku yang tertawa. Sewaktu kelas satu SMA, Laila pernah jatuh cinta dengan seorang senior kelas tiga yang merupakan anggota klub sepak bola. Mereka sempat dekat tapi tidak sampai jadian. Sampai kakak kelas itu lulus, Laila masih memikirkannya. Namun mereka tidak pernah saling berhubungan.
Tiba-tiba terdengar bunyi kendaraan berhenti di depan kontrakanku. "Eh. Itu kayaknya Rifki udah nyampe. Cepet juga. Ke depan yuk, La."
Laila mengangguk sebelum menutup toples kacang sementara aku mendahuluinya untuk membuka pintu.
"Hai, Sayang," sapa seorang pria bertubuh tinggi dalam balutan sweater warna kelabu dan celana jins. Rifki.
"Hai. Kok udah nyampe aja?" Aku membuka pintu lebih lebar untuk menyambutnya. Kami bertukar pelukan sejenak sebelum Rifki menjelaskan bahwa-seperti yang kuduga-ia sudah di perjalanan dekat kontrakan saat meneleponku.
Laila kemudian muncul dan menyapa Rifki sambil bertukar kabar. "Eh. Ririn bilang, kamu ngajak temen. Mana?"
"Oh, ya ampun. Sampai lupa." Rifki menepuk pelan keningnya. Kemudian memutar tubuh dan melambaikan tangan ke arah mobil sedan hitam yang parkir di depan teras. "Sini, Kak!" serunya.
Aku dan Laila bertukar pandang. Kemudian sama-sama melihat ke arah mobil saat seorang pria keluar dari kursi penumpang. Seketika pandanganku terpaku. Lalu menoleh cepat pada Laila.
"Kak Fajar?" ucap Laila lirih.
Pandanganku kemudian beralih pada Rifki. Meminta penjelasannya. Tapi tunanganku itu hanya tersenyum kecil. Tepat saat pria yang bersamanya tiba di dekat kami.
"Apa kabar, Rin?" Fajar mengulurkan tangannya padaku.
"Ba-baik, Kak." Aku balas menjabat tangannya. Kemudian Fajar beralih pada Laila yang sama terpakunya denganku.
"Laila," panggil Fajar.
Tidak ada reaksi apapun dari Laila. Entah apa yang ia pikirkan, atau ia rasakan. Setelah bertahun-tahun, Laila kembali bertemu dengan kakak kelas yang ia sukai saat SMA. Aku rasa, setelah ini ia akan menulis cerita baru.
❤❤❤
Halo. Saya Fauzia. Kamu bisa panggil saya Fau, Uzi, atau Zia. Senyamannya kamu.
Terima kasih sudah mengikuti cerita "Salah Paham" sampai selesai, ya. Cerita ini banyak terinspirasi dari pengalaman waktu SMA. Beberapa karakter di dalamnya bahkan terinspirasi dari teman-teman sekolah saya.
Saya sadar banget, masih banyak kekurangan dalam menulis cerita ini. Tapi semoga, nggak bikin kamu kapok untuk mengikuti tulisan-tulisan saya. Sejauh ini bagaimana kesan kamu? Dan karakter mana yang kamu suka? Share di kolom komentar, ya. Semoga di lain kesempatan, saya bisa menulis cerita yang lebih baik buat kamu.
Salam.

KAMU SEDANG MEMBACA
Salah Paham [TAMAT]
Roman pour AdolescentsAuthor's note : judul sebelumnya 'Fiksi'. Bagaimana sih rasanya terkenal? Namaku Karina Aulia. Cuma murid SMA biasa. Tidak terlalu populer walau temanku di mana-mana. Tapi mendadak, seantero sekolah jadi memerhatikanku. Setiap aku lewat, ada saja ya...