4. TEROR

249 63 200
                                    

Hari sudah larut saat aku memasuki kamar usai makan malam. Pakaianku sudah berganti dengan kaus dan celana panjang longgar warna abu-abu. Saat meraih ponsel lipat di meja belajar, kedua mataku tertumbuk pada surat dari Norman yang kulempar begitu saja pulang sekolah tadi. Aku mendesah mengingat kejadian setelah Jaka mengantarkan surat itu ke kelas 2-C. Teman-temanku tidak ada yang berhenti meledek. Bahkan tak sedikit yang penasaran sampai memaksaku membuka surat itu di kelas. Tapi, aku tidak melakukannya dan memilih untuk membiarkan benda itu tetap di kolong meja sebelum berpindah ke kantong depan ransel saat pulang sekolah.

"Si Ririn itu maunya baca tulisan dari Norman sendiri," celetuk Sarah yang duduknya tepat di depanku.

"Iya. Biar deg-degan sendiri, senyum-senyum sendiri─" sambung yang lain sebelum diiringi derai tawa.

Sebenarnya aku tidak bermaksud seperti itu. Membaca surat dari Norman di kelas sama saja dengan cari mati. Karena teman-temanku pasti akan semakin 'ganas' dalam mengolok. Dan imbasnya, pasti juga akan menimpa Norman.

Tunggu. Aku memikirkan hal ini lebih sebagai teman yang masih memiliki rasa kasihan. Jika aku di posisi Norman, aku juga tidak ingin dipermalukan satu kelas bahkan satu sekolah hanya karena surat yang kukirim dibaca semua orang. Jadi aku membiarkan saja benda itu sampai jam sekolah selesai. Begitu sampai di rumah, aku segera mengeluarkan benda itu dan melemparnya ke meja belajar seakan surat bersampul biru langit itu adalah benda dengan virus menular.

Melihat surat itu, tadinya aku tidak berminat membacanya. Kupikir, buat apa? Toh justru hanya akan membuatku semakin sebal. Tapi kalau tidak dibaca, rasanya ada yang mengganjal. Aku mendesah dan meletakkan ponsel kembali, lalu meraih surat dari Norman dan membukanya sambal berjalan menuju tempat tidur.

Dear Karina,

Aku minta maaf jika kedatangan surat ini mengganggumu

SANGAT!

Dan aku minta maaf jika kamu merasa janggal dengan hal-hal yang sering terjadi akhir-akhir ini. Rin, kamu mungkin hanya mengenalku sekilas.

Tapi, aku mengetahui tentang dirimu begitu banyak. Dari Jaka, Dania, dan dari melihatmu secara langsung.

Karin, aku ingin kamu tahu. Kalau aku sudah lama menyukai kamu. Bagiku kamu cewek special di sekolah ini. Bolehkah aku mengenalmu lebih dekat?

Salam,

Norman

NO! Definitely NOT! Aku berkata dalam hati sambil mengepalkan surat itu dengan gemas sebelum melemparnya ke tempat sampah di sebelah meja belajar. Gumpalan kertas itu mendarat di dalamnya dengan tepat. Kemudian membanting punggungku ke ranjang kayu berlapis kasur kapuk yang masih menyisakan bau matahari setelah dijemur Ayah tadi siang.

Masalah Norman ini benar-benar menyita pikiranku. Apalagi setelah surat darinya datang, mendadak popularitasnya meningkat di kalangan teman-temanku. Bahkan sampai jam pulang sekolah, teman-temanku belum berhenti membicarakannya. Sampai-sampai, aku kurang fokus saat berlatih voli dan membuat Tania berkali-kali berseru menegurku.

"Rin!" Terdengar suara Mbak Kirana, kakakku, memanggil dari luar kamar diiringi ketukan pelan.

"Masuk aja, Mbak." Aku kembali menegakkan punggung sementara pintu kamarku terbuka.

"Lagi tidur, ya?" Ia melongok dari balik pintu. Mbak Kiki sangat mirip denganku. Rambut kami sama panjang dan lurus. Bentuk dan komposisi wajah sama. Tinggi badan juga sama. Tapi aku masih bisa lebih tinggi lagi daripada dirinya. Perbedaanku dengan Mbak Kiki hanya pada kulitnya yang kuning langsat dan ia sedikit lebih kurus dariku.

Salah Paham [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang