•Prologue•

175 67 18
                                    

"Tahu efek kupu-kupu? Istilah yang dipakai untuk menunjukkan kekacauan besar muncul karena kesalahan kecil yang teramat fatal, termasuk kisahku."

"TIDAK!"

Derasnya hujan disertai petir terdengar menggema, gemericik air yang menerpa dedaunan menimbulkan suara berisik. Jeritan seorang gadis yang histeris terdengar menggelegar di antara gelapnya malam.

Kaki mungil itu tertatih-tatih menyusuri rerumputan, sebagian besar berupa ilalang yang menjulang tinggi, menghambat langkahnya.

Rok hitam selutut miliknya robek, walaupun tak begitu kentara. Dia menyilangkan tangan sambil terus berlari tanpa sedikitpun melihat ke arah belakang. Keringat dingin bercucuran tiada henti membasahi kening serta seluruh tubuhnya.

"Jangan mengikutiku!"

Pekikan parau yang terus dilafalkan, mengabaikan betapa kering tenggorokannya. Gadis itu berjuang mencari jalan pulang di hutan lebat dan rindang. Tak ada pencahayaan yang berguna di sini, kecuali senter yang dipegangnya menjadi satu-satunya benda yang bisa digunakan untuk menyelamatkan diri.

Suara napasnya terdengar bergemuruh, mengindikasikan seberapa lama dia berada dalam situasi itu. Namun, dia tidak akan membiarkan kebodohan mengambil alih. Akal sehatnya masih bekerja. Mau sepucat dan mau seletih apa pun, gadis itu harus dapat keluar dari sini sebelum para makhluk haus darah itu berhasil mengejar jejaknya.

Drap, drap, drap ....

Derap langkah yang kompak. Terasa samar, tetapi tajam itu seakan membayangi punggungnya yang berkelit penuh perjuangan. Gadis berambut pendek itu memejamkan matanya erat, ketakutan meluap-luap dalam dada. Pijakan kakinya sudah tak kuat menopang, gemetaran.

Kedua tangan menutupi wajah, berusaha mengontrol perasaan yang campur aduk yang berkecamuk. Membendung tangisan sesal, gadis itu berucap lirih, "Tolong jangan seret aku ke sana, aku minta maaf karena melupakan 'hal penting' saat melakukannya."

"Tolong kasih kesempatan, lepaskan aku." Pemandangan yang terlihat di sela-sela jari tak seluas pengetahuan orang-orang kebanyakan. Gadis itu tak pernah tahu warna asli yang dipancarkan makhluk-makhluk yang tengah memberikan tatapan mengintimidasi kepadanya, monokrom.

"Melepaskan katamu?" Dia mengangguk cepat. Mereka yang berwujud tak keruan itu saling beradu pandang dan mengirim bahasa isyarat yang tak dimengerti olehnya.

"Bisa jadi pertimbangan. Asal ada bayarannya." Gadis itu berbinar antusias. Inilah harapan yang mengantarnya ke rumah. Menghela napas, menanggalkan kesan kehororan yang dirasakan.

"Apa bayarannya? Aku kabulkan mau kalian!" Tegas, dia menguatkan mimik yakinnya, pertanda akan mengabulkan permintaan mereka yang kini tersenyum licik.

"Kembalikan budak kami yang sudah kau curi, bagaimana?" Mimik yakinnya memudar, tak suka mendengar ujaran penuh tuntutan itu. Tidak, gadis itu tidak akan membiarkannya.

"Tidak, tidak akan kuperbolehkan!" sergahnya. Mereka menukik alis mendengar penolakannya, kemudian terkekeh mengerikan.

"Itu artinya kau siap menghadap bos kami di Kerajaan Kegelapan." Acacia, gadis yang berpenampilan awut-awutan itu membelalak skeptis. Jantungnya berdetak cepat tatkala mereka bergerak mengepungnya.

*****
Jumlah kata story: 405

Akromatopsia; Acacia's World (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang