"Acacia, ada apa denganmu?" Enia mengangkat kedua alisnya ketika Acacia memasuki kelas XII-A Bahasa dengan langkah linglung. Tak lupa wajahnya yang merah padam.
"Iya, apa kau sakit demam? Kenapa kau memaksakan diri ke sekolah?" Genara ikut mengimbuhkan, raut lelaki berkacamata itu terlihat khawatir pada keadaannya. Acacia melengos dan mengibas-ngibaskan tangannya, menyuruh sepasang saudara kembar itu untuk tutup mulut.
Gombalan Nean masih terngiang-ngiang di benak, Acacia mendengkus beberapa kali. Hanya karena satu dua kalimat yang entah serius atau tidak membuatnya jadi kepikiran sampai seperti ini. Sungguh payah dirinya!
Dengan gerakan yang serampangan, Acacia langsung duduk di bangku setelah meletakkan ransel yang tersampir di bahunya. Gadis itu menghela napas gusar sambil bertopang dagu-memandangi luar jendela diiringi tatapan penasaran dari Enia dan Genara.
Enia dan Genara berpandangan bingung. Di mata mereka Acacia sepertinya sedang di fase jatuh cinta, tetapi rasanya mustahil karena yang keduanya ketahui bahwa tak ada lelaki yang dekat dengan gadis itu. Apakah sekarang sahabatnya menyukai seseorang?
Enia yang merasa aneh dengan tingkah sahabatnya lantas menyuruk untuk mendekati Acacia yang tak sadar, menyelipkan surai cokelat sampang gadis itu-sebab tadi tak sengaja dirinya melihat sesuatu di balik rambut sebahunya.
"Eh? Ini, kan ...." Tersentak. Acacia spontan menepis tangannya dengan kuat dan menengok. Kedua iris hazel milik Enia berpendar skeptis melihat adanya banyak ruam merah yang muncul hampir memenuhi leher jenjang sahabatnya.
"Oh, maaf, Nia. Aku reflek melakukannya." Acacia menunduk dalam, merasa bersalah. Mengira saudari kembar Genara terkejut serta kesal karena tangannya dipukul olehnya.
"Aku bukan kaget padamu yang tega memukuli tanganku, tapi yang aneh ... ruam merah apa yang di lehermu?" tandas Enia melotot seram.
"Apa? Leherku?" beonya mengerjap. Genara meringis iba saat kebiasaan Enia kambuh, kini menginterogasi Acacia yang berlagak pilon.
Tidak mau terlibat perdebatan yang panjang, Enia memilih menyuruh Acacia mengeceknya sendiri menggunakan cermin mini milik gadis beriris hazel itu.
Acacia terbelalak melihat lehernya menjadi merah dan juga ada yang bernanah. Pantas saja terasa nyeri semua, gadis mungil itu kehabisan kata-kata untuk menyebut situasi yang telah menimpanya.
"Apa itu yang disebut kissmark, ya?"
"Apakah Acacia semalam jadi korban pelecehan?!" cetus Genara terdengar nyaring membuat ketiganya menjadi pusat perhatian seisi kelas. Enia dan Acacia memberenggut, mengumpat dalam hati. Bukan, dia bukan temanku.
"Gezz! Bisakah kau tak berisik, Ge?" desis Enia marah yang dibalas cengiran oleh Genara, padahal lelaki itu hanya mencoba menebak secara logika kronologis dari kesialan yang terjadi pada Acacia.
Sementara di sisi lain, Acacia termenung. Dia tenggelam dalam pikiran yang menjelajahi segala hipotesis. Seingatnya kalau kissmark membentuk tanda ruam merah dan pasti digigit oleh manusia, tetapi di lehernya berbeda. Seperti ada dua lubang kecil yang berjarak kurang lebih sama tiap bekas yang tertinggal, seperti digigit oleh hewan buas.
Pertanyaannya adalah ... hewan buas seperti apa yang hanya menggigit leher dan tidak memakan dirinya secara utuh? Dan bagaimana caranya hewan itu bisa menyelinap ke dalam kamar Acacia yang sudah dikunci tengah malam? Lalu mengapa gadis itu baru sadar saat ini?
Berbagai pertanyaan bersarang di jemala Acacia. Entah kenapa semakin dipikir untuk mengeluarkan isi pikiran, bekas gigitan itu terasa semakin menyiksa leher, terutama tenggorokannya. Dampaknya, gadis itu membisu, seolah pita suaranya berhenti bekerja sejenak.
"Wajahmu pucat sekali, Aca. Kau terjangkit penyakit bentol, kan?" Acacia mendelik tak terima saat Genara melontarkan dugaan yang tiap menit makin absurd.
"Acacia! Ah-anu, aku tahu nama bintik di lehermu!" seru Enia antusias, datang merangkul lengannya.
Demi planet kerdil bernama Pluto yang terasingkan dan tak dianggap! Ini sungguh mengganjal di hati, mengapa yang terlihat di mata Enia dan Genara adalah bintik-bintik merah, sedangkan Acacia pribadi melihatnya sebagai dua lubang kecil yang merepotkan?
"Itu namanya bisul!" celetuk Enia dengan mimik tak berdosa. Wah-wah, sebuah hal yang baginya tak berdasar. Sama sekali tak menyempurnakan satu pun kepingan puzzle atas pertanyaan yang Acacia inginkan.
***
Acacia melangkahkan kaki ke luar gerbang ditemani Genara, Enia lebih dulu pulang-dikarenakan Adriana memintanya bersiap-siap pergi ke pasar malam, membeli bahan pangan-membahas soal stok persediaan di kulkas yang kosong.
"Kau tak ikut Enia pulang, Nar?" Genara menggeleng tanpa menoleh, lalu menyunggingkan senyum yang memamerkan gigi gingsulnya.
"Aku menunggumu di sini dulu, anak gadis tak baik pulang saat Magrib," elak Genara cengengesan. Acacia menyorot penuh selidik, tetapi tak lama memutuskan untuk tak ambil pusing. Buat apa berusaha menjauhkan diri jika lelaki itu tak jera menempelinya?
"Rumahku tak jauh dari sini, kok. Jadi kau tak perlu jadi satpamku." Genara mencebikkan bibir, tersindir. Acacia serba tahu tentang trik-trik yang dilakukan kaum Adam.
"Hm, dasar kejam. Sebelum aku pulang, kau jangan lupa pakai syal ini. Kembalikan kapan-kapan." Genara menyodorkan syal rajutan abu-abu miliknya yang diterima Acacia ogah-ogahan. Meskipun tahu bahwa dia tak mau gadis itu dijadikan bahan tontonan tetangga maupun masyarakat sekitar.
Terima kasih. Diam-diam Acacia bergumam. Ya, dia tak salah dalam lingkaran pergaulan di SMA Cempaka, nyatanya beruntung gadis mungil itu mendapatkan pinjaman gratis. Bila kotor bisa dicucinya sekaligus bersama pakaian lain dan mengembalikannya besok.
Acacia mengedarkan pandangan ke sekeliling pertokoan yang dilaluinya. Banyak kuda besi dan mobil yang berseliweran. Baterai gawainya mau lowbat, tak bisa dipakai menghubungi sang kakak sepupu.
Pun dia sebenarnya lumayan segan minta jemput di saat Kenanga sibuk mengerjakan skripsi, kecuali benar-benar darurat.
Bertanya soal SIM, Acacia belum mengurus apa lagi membuatnya sebab memikirkan rencana kabur. Gadis itu juga tak punya waktu untuk belajar motor selama masih tinggal di rumah laknat tersebut.
Sebelum mengayunkan kaki kembali, tatapan Acacia mengarah pada siluet dua orang yang teramat dikenalinya. Punggung itu ....
Saat itu juga, gadis itu berlari sekencang mungkin, tetapi sialnya tersandung kerikil. "Apa yang mereka lakukan? Mencariku?"
"B-bagaimana bisa?" Sial lagi. Kakinya justru terkilir di kondisi yang genting begini. Acacia ajek berlari pincang, jantungnya seakan mau lompat saat kedua orang itu mengejarnya kian dekat dengan posisinya.
"Kau kembalilah, Anak Cacat! Tak berguna! Selalu saja menyusahkan!" Sumpah serapah terlontar dari mulut Carissa dan Gandhi yang murka, Acacia tidak menghiraukan. Yang terpikirkan hanyalah cara untuk tak tertangkap oleh mereka berdua.
Acacia menemukan dan memasuki gang yang cukup sempit, berharap keberadaannya tak dapat diketahui.
"Dia bersembunyi di sini?"
Keringat dingin sebesar biji jagung terus mengucur di dahinya ketika sosok Carissa dan Gandhi tiba di lokasi persembunyiannya.
Ketika kedua orang itu nyaris menemukannya. Sebuah tangan membekap mulut Acacia secepat kedipan mata.
*****
Jumlah kata story': 1026Hiyaa! Mari sebarkan teka-teki, sekarang misi buat readers tersayangku mecahinnya. Selamat menebak-nebak😙
Note: clue udah aku kasih dari part-part sebelumnya.
Sampai jumpa minggu depan!

KAMU SEDANG MEMBACA
Akromatopsia; Acacia's World (TAMAT)
Misterio / Suspenso[TERSEDIA VERSI CETAK DI PENERBIT DIANDRA] "Segala jenis nafsu jahat itu terkadang bisa membunuh diri sendiri secara perlahan." Satu hal yang menggambarkan hidup seorang Acacia Calosa yang mengalami kelainan nadir: monokrom. Kata orang, hidupnya ya...