"Jangan mencoba berharap mendapat timbal balik, karena terkadang sebagian besar hati manusia tak bisa dipenggal bagaimana isinya."
"Feel better?" Acacia bertanya pelan tatkala perawat yang memeriksa keadaan Enia dan Genara sudah keluar dari kamar saudara kembar itu dengan langkah yang terburu-buru. Mungkin saja ada pasien lagi yang harus diurus.
Acacia langsung bernapas lega, berpikir kalau lift yang rusak tadi nyaris hanya jalan satu-satunya yang bisa dipakai, tetapi rupanya masih ada tangga darurat.
To be honest, hari ini adalah pengalaman pertama Acacia datang ke rumah sakit setelah delapan tahun tak pernah ke tempat berbau penuh obat-obatan yang menyengat ini. Sempat gamang karena selalu dibayangi peristiwa awal semua penderitaannya dimulai.
Akan tetapi, dia tak mungkin bisa membiarkan begitu saja mimik wajah Nean yang memancarkan antusiasme serta kebahagiaan menjadi luntur hanya karena trauma yang Acacia rasakan.
Akhirnya, dirinya bisa memaksakan diri berjuang melawan semua trauma sampai ke kamar kedua teman yang sedang sakit dengan susah payah. Nean? Lelaki itu pamit ke toilet, katanya ingin buang air kecil.
Bagai pungguk merindukan bulan, Acacia jelas-jelas akan kepayahan sendirian jika dirinya menggadaikan segalanya demi melihat, memperoleh tawa merdu, dan senyuman manis milik Nean, lantas mendapat balasan-terutama tentang perasaan satu sama lain.
Astaga, apa Acacia sudah kecanduan pada salah satu makhluk ciptaan Tuhan bernama Neandro? Semoga saja tidak. Gadis mungil itu tak ingin mencicipi pil pahit a.k.a realita kejam seperti masa-masa kelamnya lagi.
Enia mengangguk satu kali sambil tersenyum lemah, sedangkan Genara memilih diam seribu bahasa. Gadis itu mendaratkan bokongnya di kursi plastik yang disediakan, bertopang dagu memperhatikan kedua orang itu yang sedang memakan bubur ayam hangat yang baru dibelikannya.
Mereka berdua terlihat tidak bernafsu makan, mungkin karena indra pengecapnya sedang tak berfungsi dengan baik.
Pandangan Acacia pun beralih ke pergelangan kaki Genara diperban, mama keduanya-Ariadna sebelumnya memberitahu dirinya bahwa anak-anak beliau mengalami luka cedera yang cukup parah pascakecelakaan sehingga untuk sementara waktu tidak boleh melakukan banyak pergerakan.
"Can i help you? Let me see." Tanpa meminta persetujuan si empunya, dia langsung menyentuh kaki lelaki yang terbungkus perban itu dan membuka lilitannya.
"Semoga kalian lekas sembuh. Aku sedih." Enia dan Genara berbinar mendengar nada perhatian dari idola kesayangan, tetapi seketika kembali lesu setelah Acacia melanjutkan, "karena tak memiliki teman yang cocok bermain angka."
Manik indah berwarna kuning limau pucatnya menyusuri luka-luka yang tak absen tercetak di kaki mulus Genara, mengelus dengan lembut sampai tubuh lelaki itu menegang.
"S-sudahlah, lebih baik kau awasi Enia dibanding aku." Tentu saja, Genara merasa tak sehebat itu menantang lelaki jangkung yang melayangkan sorot membunuh, berdiri tepat di belakang Acacia.
Seharusnya tak salah kalau Genara mengalihkan fokus gadis itu ke hal yang lain, kan? What a pity, apabila benar sahabatnya memutuskan menjalin hubungan kekasih tipe posesif seperti lelaki itu. Pasti tak akan mudah bagi Acacia.
Jangankan posesif saja, lelaki yang dilihat sekarang lebih cocok dibilang psikopat-tatapan iris crimson-nya yang tajam bagai menargetkan mangsa yang ingin segera diburu. Amboi, tolong jangan menganggapnya sebagai saingan cinta Acacia!
Genara bergidik tak nyaman, dia merangkul resah bahu Enia yang mendelik kaget, tetapi memilih bungkam saat telinganya dibisiki si saudara kembar, gadis itu ikut melirik ke Nean yang berkacak pinggang.
"Here you are, kenapa kau lama sekali? Aku lupa memperkenalkannya pada kalian," ucap Acacia bergumam sembari kedua bahu Nean agar lelaki itu mendekati ranjang yang ditiduri Enia dan Genara. Membentuk himpunan.
"Namanya Neandro Sabian, tapi panggil Nean saja, ya. Ah, anaknya memang usil, tapi dia orangnya lembut juga imut!" Acacia nampak semringah saat sudah berhasil mempertemukan Nean dengan teman-teman di sekolahnya, teramat berharap ketiganya akan bisa akur.
"Kami senang bisa berkenalan denganmu, Nean." Namun, kini Acacia seperti melihat senyuman terpaksa dari duo saudara kembar ini. Gadis itu mengulum senyuman, ketidakpandaian mereka dalam menyembunyikan perasaan terlalu menonjol di penglihatannya.
"Aku mau ke toilet dulu, yup." Acacia gantian pamit untuk buang hajat ke toilet berjarak jauh dari kamar inap Genara dan Enia. Berjalan secepat mungkin memasuki bilik kamar mandi khusus perempuan.
Ketika jemari lentiknya hampir meraih gagang pintu, Acacia melirik ke arah cermin besar yang berjejer apik-seakan tertarik membenahi penampilan yang bisa saja berubah-tak sesuai ekspektasi. Sekonyong-konyong telah melekat memegangi wastafel.
Acacia melotot horor tatkala muncul sesosok gadis yang sama persis seperti dirinya tengah berdiri membelakangi, duplikatnya itu tiba-tiba luruh. Acacia turut menengok untuk memastikan, jantungnya seakan mencelos keluar melihat terdapat bercak darah berbau anyir yang lama-kelamaan memudar kilat.
Akh, Acacia memekik, tetapi suaranya terus tertahan di tenggorokan disusul sebuah tali yang mengikat leher kian erat membuatnya kesulitan bernapas.
Bola matanya membulat sempurna dengan jantung terpacu dua kali lipat
-saat wajah sosok menyeramkan itu menjadi hancur berada sejengkal dengannya, hanya menyisakan tulang-belulang yang keropos."Uhuk-uhuk! T-tolong aku, Nean ...." Acacia berteriak parau memanggil anak anjing imutnya, sementara sosok yang tadi sempat menyamar menjadi kembarannya hanya menyeringai selebar-lebarnya, lalu tertawa meremehkan.
"Dasar para manusia lemah," ujarnya kali ini tertawa lebih keras, sampai-sampai tulang-tulangnya yang lapuk berguguran mengakibatkan bunyi demi bunyi yang terasa ngilu di indra pendengaran Acacia yang gemetaran hebat di udara, kakinya sudah tidak menapak pada lantai.
Cengkeraman sosok yang menghuni rumah sakit itu berpindah ke kerah baju yang dikenakannya, tidak main-main kuatnya tenaga yang digunakan oleh hantu berwujud setengah badan tersebut, seolah-olah sejak dahulu memiliki dendam kesumat kepada Acacia yang memang tak tahu apa kesalahannya.
"Bukankah seharusnya bertanggung jawab ke arwah-arwah yang terbebas semenjak ritual yang bahkan belum kau selesaikan? Ah, tapi nampaknya kau sedang bersenang-senang selama ini?" Kedua makhluk yang berbeda dimensi itu saling bersitatap, masing-masing tenggelam dalam pikiran mereka sendiri.
"T-tidak, bukan be-" Sosok itu segera memotong pembelaan dari Acacia dengan menyalurkan emosi yang terpendam.
"Maksudmu pasti tidak salah lagi, kan?" Acacia menggeleng tanpa suara meskipun tahu kalau pada akhirnya sosok itu tetap tak menghiraukan dirinya.
Terkekeh gembira, sosok hantu wanita itu melanjutkan ucapannya, "Aku menyesal karena tak tahu kalau ternyata menyiksa manusia akan semenyenangkan ini. Mereka terlihat tak berdaya, termasuk kau!"
Everyone, help me. Semburat mirah menjalar hingga dari bagian leher ke wajah merah padam sebab dibuat berlama-lama bermusuhan dengan pasokan oksigen sampai gadis itu perlahan kehilangan karsa dengan bibir memucat pasi, memutih.
*****
Jumlah kata story': 1000Buat yg belum tau apa makna dari bagai pungguk merindukan bulan, itu maknanya membayangkan/menghayalkan sesuatu yang mustahil.
Jangan lupa vote dan coment!
![](https://img.wattpad.com/cover/254334966-288-k744269.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Akromatopsia; Acacia's World (TAMAT)
Mystère / Thriller[TERSEDIA VERSI CETAK DI PENERBIT DIANDRA] "Segala jenis nafsu jahat itu terkadang bisa membunuh diri sendiri secara perlahan." Satu hal yang menggambarkan hidup seorang Acacia Calosa yang mengalami kelainan nadir: monokrom. Kata orang, hidupnya ya...