•18| Terdedah (b)

29 23 4
                                    

"Mama lagi membuat apa?" Kenanga menghampiri sang mama yang tengah berkutat dengan peralatan yang amat dianggap sebagai 'atribut berperang' di dapur, Riana sontak menoleh lalu mendapati anak gadis semata wayang berdiri memperhatikan kedua tangan beliau yang terlihat terampil dalam menggunakan setiap bahan-bahan yang rata-rata baru dibeli beberapa hari lalu usai berbelanja bersama-sama.

"Mama mau buat kudapan, Sayang." Riana tersenyum lembut, kemudian kembali sibuk kepada kegiatan yang banyak menyita waktu luang. Hati Kenanga menghangat mendengarkan jawaban dari ibu yang dulu pernah mencelakai, hampir membunuhnya. Gadis berumur yang akan mencapai usia seperempat abad itu meringis bila mengingat-ingat masa di mana saat itu dirinya sangat menderita.

Dirinya dan Riana sama-sama trauma pasca kepergian ayah sekaligus suami, tetapi berkat bantuan jasa psikolog—mereka akhirnya bisa menjalani hari-hari yang tenang tanpa perselisihan maupun tekanan, meski terkadang alkah keduanya merindukan sosok pria humoris yang telah lama tiada. Sang mama pun mencoba menebus dosa-dosanya dengan menjadi tulang punggung di keluarga kecilnya serta Kenanga.

"Kudapan? Apakah aku boleh bantu?" Kenanga takut berat badannya naik karena terlalu lama menganggur di dalam kediaman. Toh, kan, tidak ada ruginya kalau ingin mencoba berbakti pada wanita paruh baya yang sudah rela mempertaruhkan antara hidup dan mati hanya untuk melihatnya terlahir ke dunia.

"Kenanga harus melakukan apa, Ma?" Riana memberikan step-step tentang bahan-bahan yang diperlukan demi menyempurnakan cita rasa camilan yang akan menjadi penghilang jenuh  terbaik, sedangkan Kenanga manggut-manggut dan tanpa banyak bertanya langsung mempraktekkan didikan itu.

"Begini, kan?" Mendapati anggukan, Kenanga mengembangkan senyuman yang dilumuri bangga. Sontak dirinya  jingkrak-jingkrak seperti anak kecil yang memperoleh sebuah mainan baru seakan baru memenangkan olimpiade juara nasional.

"Kurasa memasak tak begitu buruk." Riana melepaskan celemek berwarna merah polos dengan gerakan gemulai ketika semua kudapan sudah sangat siap untuk dihidangkan. Mengajari anak gadisnya tentang hal-hal dasar, hitung-hitung sebagai bekal saat akan sudah resmi berumah tangga dengan sang calon suami, Kenzo.

"Maka dari itulah jangan menunda-nunda ketika Mama meminta tolong padamu, Nak. Karena kau tidak akan selamanya selalu bergantung pada Ibumu yang sudah tua ini." Kenanga menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sambil cengengesan, savage.

Kemudian sudah selang beberapa lama ketika suasana menghening, Kenanga akhirnya mengeluarkan suara dengan menyahut, "Tapi Ma, setelah memantau hubungan Acacia dan Neandro yang renggang seperti ada something sampai mereka yang terlihat akur tersebut saling menjaga jarak."

"Mama rasa Acacia yang membuat jarak di antaranya dan Nean. padahal Mama sudah nge-ship dua orang itu.  Sebenarnya apa yang terjadi?" Entah.  Kenanga menatap ke arah kamar sang sepupu yang tertutup rapat. Gadis itu pun sependapat bahwa mereka amat cocok karena mempunyai chemistry yang cukup kuat hingga orang-orang enggan berpaling, apa lagi berkedip.

"Mama, aku punya ide yang bagus buat mendekatkan mereka berdua!" Riana mendekatkan telinga ketika Kenanga membisikkan segalanya dengan secara runtut dan sejelas mungkin. Ya, asan tak asan, berharap sepenuhnya akan berhasil dan hasil tidak akan berakhir mengecewakan.

"Agree, saranmu boleh dan bisalah dicoba bersama." Kenanga spontan mengaitkan kelingking dengan jari milik Riana, kedua anak dan ibu itu tertawa riang.

***

"Susu buatanku bagaimana, Nona?" Neandro menunggu penilaian Acacia dengan raut wajah cemas. Takut jika susu yang dibuat dalam sekejap sudah basi atau kadaluarsa yang meracuni gadis yang bersandar di bantal yang menghadap vertikal pada kasur. Ukh, dipikir-pikir dirinya belum melihat tanggal sampai kapan bubuk dari susunya dapat bertahan lama.

"Enak, hangat," lirih Acacia membuat Nean menarik napas lega. Jerih payah yang lelaki baby face itu lakukan jadi berbuah manis, susu buatannya tidak terlalu buruk diterima lidah manusia. Di dunianya dulu, jangankan megang peralatan dapur, sebangsanya lebih suka memakan sesuatu yang mentah dari hasil berburu dibanding sesuatu yang sudah matang.

"Terima kasih." Nean menatap sendu Acacia yang tengah tersenyum hangat ke arahnya. Manusia adalah makhluk yang paling lemah di antara makhluk ciptaan Tuhan yang lain, jika mereka terkena dampak cuaca, maka mereka akan sakit, dan jika sudah sakit parah mereka akan jadi cepat mati. Berbeda dengan bangsanya yang merupakan bangsa terkuat.

"Maaf sudah merepotkanmu." Acacia menekuri selimut yang setidaknya ini dapat menstabilkan suhu tubuh. Nean  segera menggeleng seraya menggamit jari-jari rapuh milik gadis mungil itu.

"Mengapa Nona berbicara begitu? Ah, menurutku sebaliknya. Aku bahagia ketika Nona membutuhkanku." Nean tersenyum menenangkan, berusaha menghibur hati Acacia yang sedang dalam kondisi cendala. Hm, selain itu, manusia sering mencemaskan hal-hal yang tak perlu, melibatkan dirinya ke urusan orang lain, juga berpikiran pendek.

"Kuharap Nona bisa tertawa renyah dan tersenyum seperti sedia kalanya." Deg. Hati Acacia tertohok mendengar penuturan Nean yang penuh dengan permohonan kuat, terlebih sorot mata lelaki itu memiliki sejuta makna yang terselubung, begitu sukar untuk dapat diartikan.

"Aku lebih ingin sosok Nona yang tak tersentuh sama sekali seperti dulu daripada harus melihatmu begini." Nean membelai rambut Acacia yang mulai panjang sebahu. Denyutan sakit ketika menyaksikan sosok gadis yang dikasihi terkapar tak berdaya seperti sekarang. Acacia membuang wajah, enggan menatap dirinya.

"Aku mau mengakui sesuatu, Nona." Acacia bergeming, tak berniat untuk menoleh sedikit pun. Nean mendesah kecewa melihat tanggapan kurang berarti dari gadis yang punya tahta tertinggi di hatinya saja, walaupun dirinya membenci semua manusia karena mereka menjijikkan, tetapi pengecualian bagi Acacia Calosa.

"Aku tahu betul kalau Nona selalu ingin menghindariku sejak malam itu dan mungkin setelah mendengarkan pengakuanku yang kedua kali ini ... Nona akan lebih merasa awkward atau bahkan membenciku." Neandro menggigit bibir bawah, membendung perasaan yang sesak memenuhi area tenggorokan, kedua tangan itu saling bertautan.

"Mengakui sesuatu apa?" Tak sabaran, Acacia reflek menelan air liur secara kasar, seakan-akan sudah cukup lama menantikan momen bahwa di mana semua hal buram akan terurai dengan jelas, tali asa yang tergantung indah di lubuk hati yang terdalam. Lekaslah bicara, Neandro!

"Pertama-tama aku mau minta maaf karena tanpa sepengetahuan Nona, aku sering masuk kamar Nona demi mengisap darah Nona yang membuat diriku kecanduan, rasanya amat lezat sampai tak ingin berhenti." Neandro menunduk sambil menyatukan kedua telunjuk—berlagak pilon, "dan akulah yang membuatmu jadi sakit beberapa kali karena bekas taringku memberi infeksi pada leher Nona."

"Mungkin karena bentukannya yang seperti kissmark, tapi tandanya tak akan langsung menghilang dan ehm ... butuh waktu pemulihan yang tidak sebentar, Nona." Acacia mengerling, otaknya seketika berusaha menelaah perkataan persis seperti pengakuan dosa.

"Kau jangan bertele-tele! Langsung pada intinya saja!" sentak Acacia.

"Aku salah satu bangsa setengah vampir dan darah manusia adalah makanan prioritasku!"

Ini namanya Neandro curang!

*****
Jumlah kata story': 1040

Ehe, baru ketahuan sekarang. Apa Acacia bakal percaya? Stay tune Minggu depan!

Akromatopsia; Acacia's World (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang