"Kita hanya setumpuk momen tanpa pernah menjadi komitmen."
Ini namanya Neandro curang! Badan Acacia sekarang tidak bisa berkutik karena mendengar pernyataan yang tidaklah biasa di telinga untuk kali pertama. Berarti waktu itu laki-laki itu tidak sedang bercanda dengan dirinya?
Sebenarnya sulit dipercaya bahwa Nean merupakan salah satu bangsa vampir yang telah cukup lama punah di muka bumi. "Katamu kau setengah vampir dan minum darah manusia?"
Neandro mengatupkan bibir, tak lama kembali diam membisu. Seolah dalam keheningan mengiyakan pengulangan Acacia sekali lagi. Gadis itu menyugar rambut cokelat sampang dengan acuh tak acuh. "Entah kenapa diriku masih tak bisa memercayai ucapanmu ini."
"Ya, aku tahu hal ini pasti rumit buat Nona pahami, tapi inilah fakta yang harus kukatakan padamu." Neandro menyiuk panjang, sedangkan Acacia merotasikan mata dengan tidak enak karena kurang nyaman atas atmosfer yang terjadi di antara keduanya.
Tidak pada pengakuan Nean tempo hari, Acacia kembali dipusingkan lagi dengan pengakuan bahwa Nean ialah manusia setengah vampir yang nyaris terkenal langka. Gadis itu terhuyung-huyung akibat didera syok yang berat saking tak menyangka tentang hal ini.
Senyum Neandro seketika memudar seiring tubuh Acacia yang ambruk di lantai. Sedikit beruntung gadis beriris Amber itu masih memiliki kesadaran penuh, kendati mentalnya terguncang dahsyat—karena rupanya selama ini sudah memelihara satu vampir. Betul kata pepatah, jangan menilai mereka hanya dari penampilan yang memang bisa menipu mata.
"Maaf sudah membuat Nona bingung. Aku rasa tadi waktu yang tepat untuk membocorkan satu per satu jati diri yang kusembunyikan." Acacia tanpa aba-aba mencengkeram kedua bahu milik Nean dan saling menyatukan dahi mereka, dirinya menatap lekat iris merah pekat lelaki itu tanpa ragu.
Sebagai seseorang yang belum pernah merasakan manisnya kisah para anak remaja kebanyakan sebab sibuk pada kegiatannya melayani dua orang tua yang sudah memberi sandang, papan, dan pangan selama mengasuh dirinya sekian tahun, Acacia memang miskin pengetahuan mengenai asmara, tetapi gadis itu tak bodoh untuk mengenali perasaan yang sudah mulai berakar perlahan-lahan merasuki hati serta pikiran.
"Aku tidak peduli mau kau manusia atau bukan." Jeda, Acacia menghela napas, berusaha keras menetralkan degup jantung yang menggila, "kau tetaplah Neandro Sabian yang aku kenal selama setahun kita bersama."
Acacia menahan pipi Neandro yang kali ini tak berhenti bergerak gelisah, menyelami semuanya dari dua mata yang terasa menghanyutkan hingga bagian yang terdalam. "Kuharap kita bisa komitmen sampai akhir. Dan aku sudah merasa nyaman denganmu."
Neandro tergagap dengan wajah bak kepiting rebus mendengarkan balasan yang membuat otak mendadak susah mencerna keadaan sekitarnya. Seakan berubah menjadi absurd. "Nona, kau menerimaku begitu saja tanpa ingin tahu masa laluku?"
"Bisa cerita lain kali, setidaknya kau sudah mau jujur kepadaku." Acacia melambaikan tangan dengan gelagat acuh, kemudian menyungging seulas senyuman tipis sembari menatap ke arah Nean yang sedikit salah tingkah.
Dirinya menghargai keberanian yang lelaki itu susah payah kumpulkan dan sudah mengakui satu kebohongan lagi padanya, jadi mustahil Acacia marah.Hanya saja Acacia merasakan kecewa karena Nean tak mau jujur dari awal, tetapi nasi sudah jadi bubur. Pastinya sementara tidak perlu mencemaskan sesuatu yang belum terjadi, bukan?
"Tunggu aku sebentar lagi, Nona. Aku hanya perlu sedikit waktu untuk bisa menjelaskan asal-usulku saja." Nean membalikkan badan dan membelai lembut surai panjang Acacia yang lagi-lagi tidak bisa berkutik karena dilanda kegugupan, padahal dirinya tidak keberatan menunggu sampai lelaki itu sudah siap bercerita.
Acacia hanya tak ingin memaksakan sesuatu sesuai kehendaknya. Biarkan semua mengalir biasa secara alamiah seperti arus sungai. Gadis itu spontan mengecup kuping Nean yang terlihat putih pucat hingga perlahan merona merah. "Aku tak masalah menunggu."
Neandro melirik dengan skeptis, tidak menduga kalau Acacia akan menjadi seagresif sekarang. Detak jantungnya terdengar sangat keras sampai lelaki itu merasa takut bahwa gadis ini bisa mendengarnya juga. "Ternyata Nona tipe yang suka memberi kejutan?"
***
"Kata Neandro, Acacia telah kembali!" Enia melompat-lompat riang sambil menggandeng pergelangan tangan Genara yang mengulas senyuman melihat saudarinya bahagia bukan kepalang. Mendengar kabar baik itu membuat turut girang dengan respon yang dikeluarkan kembaran yang berselisih tujuh menit saat Ariadna melahirkan keduanya.
"Kau pasti kepengin sekali cepat-cepat menjenguk Acacia di rumahnya." Enia menatap lama sang saudara kembar. Tentu saja tebakan itu sangat benar, dirinya bahkan merindukan tawa merdu Acacia yang mengalun ketika obrolan ringan mereka seakan tidak pernah ada habisnya. Sungguh, Nean adalah juru kunci dari seluruh rasa cemas yang berkecamuk di pikiran.
"Baguslah. Kalau begitu, kan, aku tak perlu menemani waktu bergadangmu untuk menonton serial drama sedih lagi." Enia memberenggut sebal kala Genara tak pernah absen mengumbar aib-aibnya seminggu belakangan ini.
Walaupun si saudara nampak kalem, tetapi aslinya sangat mengesalkan."Menurutmu hubungan Nean dengan Acacia seperti apa?" Genara tiba-tiba menyeletuk membuat langkah kedua orang yang berparas tidak identik itu seketika terhenti sejenak. Mendadak Enia turut berpikir keras mengenai hubungan yang berlangsung di antara sahabatnya dengan lelaki tampan itu.
"Nar, bukankah kata Acacia, mereka tinggal satu atap? Dan katanya teman, eh, sepupu jauh," sahut Enia sambil mengerjap bingung membuat Genara melebarkan mata. Apakah gadis yang memiliki tahi lalat di bagian dagunya langsung percaya pada omong kosong orang yang akan mereka kunjungi?
"Kau tidak merasa curiga?" Enia kini menatap Genara dengan penuh tanda tanya besar. Buat apa merasa curiga? Toh, Nean cocok menjadi teman baik yang bisa merangkap sebagai media komunikasi di antara keduanya. Huft, tidak ada yang berakhir indah kalau salah satunya memiliki bibit curiga.
"Apa kau tak merasa aneh hubungan mereka itu lebih dari sebutan teman?" Genara memicingkan mata sembari memegang pisau kecil yang selalu dia bawa ke mana-mana, menodongkan tepat di depan hidung Enia, "jadi kau benar-benar tak curiga kalau Acacia mengkhianati kita berdua?"
"Kamu yakin?" Enia mengambil pisau yang diserahkan Genara padanya dan tersenyum penuh makna memandang lengkungan tipis yang tercipta di bibir lelaki yang melepaskan kacamatanya.
Keduanya menyeringai lebar seakan kekuatan telepati sungguh nyata."Iya, kita hanya tinggal membereskan bangkainya saja jika dia mengingkari saja, kan?" Enia cekikikan seolah-olah perkataannya barusan bukan sesuatu yang riskan karena sudah biasa. Lalu Genara pun kontan menganggukkan kepala singkat.
"Bukankah setelahnya adalah waktu yang tepat untuk membuktikan hal tersebut?" Sorot mata sepasang insan yang penuh hasrat membunuh orang semakin berkilat kentara, membawa barang-barang yang bernama 'oleh-oleh' untuk diberikan ke Acacia.
"Aku menantikan dia menjerit puas ketika kita menguliti hidup-hidup!"
"Aku juga!"
*****
Jumlah kata story': 1012Bagaimana? Thriller udah mulai kerasa? Nantikan bagian (b) esok! See you next time, guys!
KAMU SEDANG MEMBACA
Akromatopsia; Acacia's World (TAMAT)
Misterio / Suspenso[TERSEDIA VERSI CETAK DI PENERBIT DIANDRA] "Segala jenis nafsu jahat itu terkadang bisa membunuh diri sendiri secara perlahan." Satu hal yang menggambarkan hidup seorang Acacia Calosa yang mengalami kelainan nadir: monokrom. Kata orang, hidupnya ya...