•20| Mendeportasi (a)

15 23 0
                                    

"Terkadang orang lain perlu alasan untuk membencimu, tetapi orang terdekat tidak perlu alasan untuk mencintaimu."

"Itu sudah jelas, Ma. Akan kubuat Ken bahagia dengan caraku sendiri." Deg. Sebuah suara bariton mengalun lirih di telinga Riana dan Kenanga kontan menoleh secepat mungkin. Semenjak kapan Kenzo menguping percakapan kedua orang itu?

"Astaga! Kau membuat kita terkejut, Calon Menantuku!" Riana langsung terkekeh geli melihat tingkah Kenzo yang malu-malu menghampiri beliau juga Kenanga yang wajahnya bersemu merah. Gadis itu pura-pura berdeham keras, mengode sang mama agar tidak lagi menggoda tunangan alias calon suaminya.

"Sepertinya kalian butuh waktu buat berduaan, kan-" Sebelum Riana bisa merampungkan ucapan dan berusaha melangkah membiarkan kedua sejoli yang sekiranya ingin bermesraan. Si Kenzo langsung menyela.

"Tidak, Tante tidak mengganggu kami, kok!" Kenanga membuang wajah yang telanjur kecewa dengan senyum kecut yang mau gadis itu sembunyikan. Ah, sepertinya sosok Kenzo amat berefek pada hatinya dan hal itu tidak pernah berubah selama lima tahun lamanya.

"Benarkah? Tapi Mama rasa sekarang ada hati yang sedang kecewa." Ujaran Riana membuat Kenzo mengalihkan atensi ke arah Kenanga yang tengah bersedekap dengan wajah pundung mengundang tanda tanya di kepala.

"Kau kenapa?" Kenanga tidak berniat menjawab. Lelaki itu menerka-nerka sebenarnya apa yang mengubah gadis itu secara personal sehingga menjadi diam seribu bahasa begini. Apa ada yang mengganggu pikirannya?

"Sudahlah, tak apa-apa, Zo. Lebih baik ikuti saja kemauan Mama." Serempak Riana dan Kenzo berkata tidak. Lalu Kenanga dibuat kebingungan dengan perubahan drastis mereka berdua ini.
Bagaimana jadinya calon mertua dan menantu dipersatukan dalam seatap?

Riana menjelaskan bahwa beliau itu hanya ingin mengalah, membiarkan anak gadisnya menghabiskan waktu berduaan dengan calon suami. Beliau merasa kurang pantas untuk gabung selain sudah hampir orang tua yang bau tanah, wanita itu mengembalikan waktu yang hilang sebab kemarahan yang pernah menggerogotinya sudah merebut masa-masa remaja Kenanga.

Menyadari kesalahan dan dosanya tak bisa dimaafkan begitu saja, sekurang-kurangnya beliau tak ingin mengusik waktu berharga Kenanga demi sama-sama dengan mempelai pria sebelum setelahnya mengarungi lautan penuh problematika bahtera rumah tangga yang sudah di tahap serius. Sebab itu melibatkan kedua keluarga besar dan juga acaranya akad dan resepsi akan digelar bulan September nanti. Lantas sekarang sudah menjelang bulan Juli, yang artinya tidak akan lama lagi.

"Karena usia Mama mulai rentan, jadi kau harus menjaga keluarga baik-baik dan jangan sampai tercerai-berai, ya." Riana menasihati dengan senyuman hangat. Hati Kenanga berdenyut perih seolah muncul lubang raksasa yang menganga lebar di sana, serta-merta menyita dalam sekejap kebahagiaan yang pertama kali usai pertunangan sudah selesai dilangsungkan.

"Apa yang tengah Mama bicarakan?!" bentak Kenanga melampiaskan emosi dengan spontan, Riana yang dibentak hanya mampu tersenyum simpul. Ya, memang ada yang salah? Wanita yang rimpuh pasti segera menua cepat atau lambat. Fakta bahwa rambutnya yang sudah beruban tidak dapat ditampik.

"Mama pasti bisa hidup sampai aku memiliki anak, cucu, sampai bahkan cicit! Jangankan hanya menikah, aku akan memberi Mama keturunan agar Mama tidak kesepian lagi!" Kenanga berseru hingga urat-urat menonjol dan iras merah padam, "jadi tolong Mama jangan mengatakan sesuatu yang mengerikan dan menyedihkan seperti itu!"

"Tapi, Ken, bukan berarti kau harus menutup mata dari kenyataan bahwa hidup manusia tak lebih dari seratus tahun. Benar?" Kenanga menggeleng kuat, pertanda dia menyangkal segala macam perkataan mengenai manusia yang umurnya terbilang pendek. Ugh, apakah gadis dewasa itu akan serakah mengharapkan kehidupan abadi?

"Aku bukan mau menutup mata, Ma! Tidak bisakah aku menginginkan kita tetap bersama mencapai waktu yang sangat lama?" Kenanga bertanya lirih dengan intonasi suara yang terdengar parau, khas orang yang mati-matian menahan isak tangis. Kenzo dengan sigap menyangga bobot badan milik gadisnya yang kini hampir ambruk.

"Tolong jaga suaramu, jangan sampai Acacia mendengar kalau kita berdua bertengkar." Riana setengah berbisik, berupaya menyembunyikan ekspresi paniknya. Kenanga sudah tak peduli mau siapapun yang mendengar atau tidak ada sama sekali. Yang diketahui gadis itu sekarang adalah sang mama serius dengan wangsit tadi.

"Mama tidak berniat meninggalkanku sendirian, 'kan?" Kenzo menegurnya karena barusan lagi-lagi membentak tanpa sadar. Riana menyorot getir ke arah lain, seolah beliau sedikit enggan bersitatap dengan sepasang netranya.

"Mama bukan mau meninggalkanmu sungguhan, tapi bukan berdasarkan arti leksikal." Riana reflek mendesah penuh keraguan, melirik sekilas ke arah Kenzo. Seolah sekarang kembali ke masa kelamnya yang gelap, bukan dalam suasana yang bagus. Kondisi yang mirip, tetapi hanyalah atmosfer yang membedakan saja.

"Semuanya sudah diatur Tuhan. Kita tidak bisa melawan-Nya, kehidupan abadi? Yang benar saja, Nak, belum ada orang kecuali makhluk buatan sihir yang dapat hidup abadi. Umur manusia tidak ada yang tahu." Riana memandangi handle pintu bergoyang-goyang seperti ada yang memutarnya sembari tersenyum misterius, seperti terdapat sejuta makna terkandung di baliknya.

"Acacia? Nean?" Kedua orang itu yang kepergok sedang menguping langsung meringis sesaat setelah nama mereka dipanggil Kenanga. Gadis mungil dan lelaki bersurai perak itu melangkah maju ketika Riana melambai seakan menyapa dan berpikir apakah beliau tidak marah karena seseorang atau lebih yang menguping pembicaraan?

"I-iya, Tante?" tanya Acacia terbata-bata, bulir keringat dingin mengucur deras di pelipis. Dirinya menggamit erat tangan Nean sebagai ganti agar gadis itu tidak terlalu gugup di situasi yang mencekik pernapasan begini.

Riana menyiuk panjang, seakan berat melontarkan kalimat dari mulutnya sendiri, berharap Acacia memahami pilihan yang akan wanita itu berikan. Sebenarnya beliau telah menganggap adik sepupu Kenanga sebagai darah daging alias putri kandung. "Sekarang saya boleh minta tolong satu hal saja padamu?"

"Satu hal apa yang Anda maksud, ya?" Acacia meneleng, berusaha mencerna tiap kata-kata yang selanjutnya Riana utarakan membuatnya terbelalak luar biasa. Apakah sekarang mereka ingin mengusir, tetapi mengapa demikian?

"Saya memutuskan agar kamu pulang terlebih dahulu ke rumah orang tua angkatmu, karena seperti yang kamu lihat ... kondisi Kenanga saat ini tidak memungkinkan mengurus sepupunya lagi karena mempersiapkan seremoni pernikahan yang sekitar kurang dua bulan dari sekarang." Riana langsung menjelaskan tanpa basa-basi dengan wajah datar tanpa ekspresi khasnya.

"Jadi saya memberimu waktu sekitar seminggu untuk berkemas-kemas. Ah, kemudian jangan lupa bawalah Nean bersamamu. Bagaimanapun dia telah menjadi bagian dari dirimu semenjak kalian bergabung menjadi salah satu anggota keluarga kami." Itulah pesan terakhir dari Riana setelah beberapa hari berlalu, Acacia menyeret koper mininya menapaki lantai bus umum bersama Nean di sisinya.

Gadis itu tertunduk frustrasi, menarik napas berulang kali-tak menyangka satu fakta terkuak tentang pot bunga yang hampir melukainya kala masih tinggal di rumah kediaman Kenanga.

Bahwa pelakunya adalah Carissa dan Gandhi. Acacia mencengkeram erat ujung dress biru tuanya.

*****
Jumlah kata story': 1034

Akhirnya up, sori lewat dari jadwal yang seharusnya karena sekarang kerjaanku nambah karena mulai bekerja di penerbitan :"(

I hope you like this story!

Akromatopsia; Acacia's World (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang