•7| Pengestu (a)

51 33 23
                                    

"Bahagia atau tidak, semuanya tergantung standar yang kau tetapkan sendiri."

"Huh? Kau bercanda denganku, kan?" Acacia tertawa keras seakan-akan meremehkan. Bagaimana bisa orang ini membawa-bawa nama makhluk ganas yang senang memangsa darah manusia? Dia ragu kalau mahkluk legenda itu tengah berkeliaran di kota kecil yang populasi manusianya tak bisa disandingkan dengan kota-kota besar yang ada di luar sana.

Yah, lagi pula kalau benar-benar ada vampir sungguhan pasti sudah disiarkan di televisi maupun sosial media, terkenal alias viral. Namun, sejauh ini Acacia belum pernah menemukan berita yang menayangkan hal-hal tersebut. Sementara saat ini ada sosok yang mengaku-ngaku dirinya berasal dari ras vampir. Konyol dan ini di luar nalarnya sebagai manusia.

"Ya, anggap saja aku begitu." Acacia menaikkan sebelah alisnya heran, walau begitu dia pun tidak mau terlalu membesar-besarkan suatu perkara.

Acacia bukanlah gadis yang suka menyudutkan orang lain terlebih orang asing, kecuali benar-benar melakukan kesalahan besar dan keterlaluan. Justru gadis itu sekarang merasa sedikit bersalah karena menolak pertolongan sosok asing yang berhati mulia di depannya.

Hah, padahal biasanya Acacia jarang memikirkan tindakannya yang mungkin buruk di mata orang luar. Acacia tahu perilakunya yang sangat tak terpuji, tetapi cara inilah yang mungkin dapat menembus dosanya.

"Namamu siapa?" Entah bagaimana sepatah dua kata lolos dari mulut Acacia yang salah tingkah. Merasa pertanyaannya absurd, tak terbiasa menampilkan rasa ingin tahu.

"Aku? Aku tak punya nama." Acacia menatap sosok itu dengan sorot tak percaya. Yang benar saja, apakah dia terkena amnesia atau semacamnya? Kalau dilihat-lihat pancaran iris gelap itu menunjukkan kesungguhan, sepertinya dia tak berbohong.

"Ya sudah, terima kasih sudah menolongku," ucap Acacia sambil menyunggingkan senyum menawan.

"Baiklah. Aku pulang, kau juga, ya." Acacia beranjak setelah melepaskan diri dari pelukan hangat sosok itu. Namun, dia kembali menahan gadis itu dengan menarik ujung jaket Acacia.

"Hei, lepaskan!" Acacia yang takut menepis tangan pucat itu dari bajunya, tetapi tak bisa karena sekarang sosok itu merengek.

"Nona, jangan tinggalkan aku." Acacia mengurut keningnya yang berkerut. Apa maunya? Bukankah harusnya dia segera pulang ke tempat asalnya?

"Kau punya rumah, kan? Mengapa kau menahanku?"

"Nona-"

"Nona ... Nona, aku bukan Nona-mu! Namaku Acacia, ingat itu!" Gadis itu risih karena sejak bertemu sosok itu terus memanggilnya Nona. Di Kota Misfortune tak ada panggilan nona atau tuan, semua masyarakat disamaratakan agar terkesan adil.

"A-aku tak punya tempat berpulang, sering berpindah-pindah selama ini. Aku takut sendirian lagi." Bruk. Sosok itu terduduk lemas, bersamaan tudung hitamnya yang tersingkap. Menampilkan rambut berwarna perak yang memukau membuat Acacia terpelongo sesaat.

Astaga, parasnya mengalahkan lelaki-lelaki yang Acacia kenal-tidak, lebih tepatnya seluruh lelaki yang ada di Kota Misfortune. Apakah ini berkat atau kutukan untuknya? Dia bertemu manusia setampan ini. Ya ampun.

"Jangan bilang kau mahkluk jadi-jadian?" tukas Acacia tak pikir panjang. Sosok tanpa nama itu terperanjat kaget mendengar tuduhan gadis beriris Amber itu.

"Kau keturunan malaikat atau iblis?" Hanya berdasarkan dua dugaan yang terpikirkan oleh Acacia. Yang paling utama adalah bangsa mereka bisa berubah wujud dalam bentuk apa pun.

"Se-sepertinya bukan keduanya." Acacia menarik napas lega. Syukur, nyawanya masih ada peluang selamat. Oh? Dia jadi lupa kini sudah larut malam!

Acacia tergesa-gesa menuruni anak tangga disusul manusia tampan, tetapi juga cantik mengiringi isi benaknya yang penuh tanda tanya besar.

Sesampainya di lantai bawah, Acacia berhenti dan membalikkan badan. Mulai menatap sosok itu sekali lagi, bertanya kembali, "Apa kau sungguh tak tahu namamu?"

Dia menggeleng pertanda tak tahu. "Lalu bagaimana aku memanggilmu?"

Acacia dan dia terdiam untuk waktu yang cukup lama. Sosok aneh itu tak tahu namanya siapa? Apa sejak lahir juga belum memiliki nama? Kalau begitu, Acacia tak mungkin, kan, menyebutnya sosok ini, makhluk ini, terus menerus! Namanya tak kreatif!

"Huft, kalau kau mau ikut aku pulang, maka minimal punya nama." Acacia mengetuk-ngetuk dagunya. Memutar otak mencarikannya nama yang bagus dan juga sesuai karakter sosok di hadapannya. Saling berhubungan.

"Bagaimana kalau namamu Nean?"

"Nean?" Sosok itu membeo bingung.

Acacia tersenyum samar. Bangga karena bisa menemukan nama yang menurutnya memiliki arti yang indah. "Nean, Neandro Sabian."

"I love it, thank you so much." Seruan senang Nean dan sepasang iris safir merah miliknya berbinar cantik, bagai anak yang mendapatkan mainan dari ibunya.

"Ayo, keburu subuh!" ajak Acacia yang berdeham dulu sebelum menggamit tangan lembut Nean, mati-matian menetralkan detak jantungnya yang berdetak kencang.

Ini tak baik untuk jantungnya.

***

"Acacia, siapa dia?" Kenanga langsung menginterogasi Acacia setelah gadis yang tingginya sebatas seratus enam puluh sentimeter itu menapakkan kaki di teras rumah semenit yang lalu.

Baru sampai sudah disembur begini, tetapi Acacia paham mengapa Kenanga secemas itu. Secara kemarin-kemarin dia bertingkah depresi seakan hidup hampa, tentu membuat kakak sepupunya semakin protektif padanya.

Meski Acacia mengatakan sudah baikan, Kenanga tetap tak peduli dan memaksanya untuk naik ke lantai dua. Ya mustahil ada yang percaya kalau dirinya bisa pulih dari depresi dalam waktu semalam.

Acacia tersenyum masam. Sudah menduga hal inilah yang pertama kali ditanyakan. Astaga, bukankah seharusnya dia diberi minum dulu? Apa sang kakak sepupu pura-pura tak melihat wajah pucat yang tercetak jelas di wajahnya? Menyebalkan!

"Ini temanku mau menginap, katanya dia baru diusir dari rumah oleh keluarganya," alibinya sambil melirik Nean yang terlalu mencolok, menjadi pusat perhatian membuat Acacia mendengkus. Rencana yang dibuat sejak awal, termasuk cerita yang dikarang sendiri.

"A-apa? Dia temanmu?" Mengangguk. Acacia menghela napas, semoga saja Kenanga tak pingsan saking syoknya dan mau memberi kesempatan ke Nean.

"Kak Kenzo? Pacar Kak Ken, ya?" Acacia mengalihkan pandangan, menatap lelaki berbadan tegap yang bersandar di pintu dengan gaya cool-nya. Kenzo berdeham singkat.

"Aku Acacia. Salam kenal."

"Kau adik Kenanga. Benar?" Acacia mengiyakan lantas menjulurkan tangan, Kenzo menjabatnya sebentar dan melepaskan tautan tangan mereka. Sebab kehadiran Kenanga yang memantau interaksi keduanya.

"Hei, jangan menghindariku. Kau belum menjawab pertanyaanku!" sentak Kenanga yang menarik bahu adik sepupunya, gadis berumur dua puluh dua tahun itu memelototi Acacia.

Reflek Acacia meringis akan tatapan Kenanga, sepupunya jauh lebih menyeramkan jika dibandingkan dengan sorot mata para hantu. Bila biasanya Kenanga terlihat sabar dan kalem, kini jangankan tersenyum, dia tambah kesal pada gadis itu. Siapa yang mau diabaikan?

"Dia Neandro Sabian. Nean teman sekolahku yang sedang kesusahan, Kak, makanya aku ajak ke sini," balas Acacia terbata-bata. Ukh, dia ragu-ragu ketika memperhatikan Kenanga yang terlihat berdiskusi bersama Kenzo di pojokan.

"Kau menang, Nean."

Mengembuskan napas panjang, Acacia pasrah kalau Kenanga berniat menindaklanjuti perilakunya yang memang mencurigakan. Yang penting, dia membawa Nean kemari. Maka tugasnya telah tuntas, bukan?

"Baguslah. Kau masih mengingat siapa dirimu di sini." Acacia mendesis saat Riana muncul tiba-tiba dan berdiri di samping Kenanga. Wanita itu berbicara apa? Tak nyambung!

"Coba kurangi cabai di mulut Mama." Riana melengos saat Kenanga memperingatinya, wanita itu mengusap rambut panjang anaknya sebelum kembali masuk tanpa menoleh sekali lagi.

*****
Jumlah kata story': 1100

Haloha, aku bakal double up. Karena babnya aku bagi jadi 2😊

Nanti bagian 2 nya aku up hari ini❤

Akromatopsia; Acacia's World (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang