•2| Prasangka.

124 47 44
                                    

"Tolak ukur dewasanya seseorang bukan dari berapa lama dia hidup, tetapi perspektifnya terhadap permainan dunia."

Hiruk-piruk kendaraan menyapa gendang telinga. Acacia mengusap wajahnya gusar. Melangkah menuju persimpangan jalan yang terdapat selter di tengah-tengah padatnya aktivitas pengemudi-pengemudi yang berlalu lalang.

"Aku telat lima detik rupanya." Ingatannya melanglang buana. Dia kesiangan, wajar saja ada Carissa yang menghambat dirinya untuk berangkat pagi buta. Acacia disuruh memperbaiki atap yang terhantam kerasnya peluru semalam, padahal jelas-jelas gadis itu sudah siap dan mengenakan seragam lengkap.

Wanita itu memaksanya naik ke atas genteng, menghilangkan tangga yang menjadi perantara saat Acacia sudah selesai berkutat dengan perabotan, lantas meninggalkannya masuk ke rumah, membiarkan Acacia kalang kabut di tempat yang lumayan tinggi. Ternyata Carissa masih menyimpan dendam, ya?

Acacia gelisah, tak ada yang menolongnya. Gandhi? Pria itu justru bersantai menikmati waktunya membaca koran. Pura-pura tak mendengarkan teriakan minta tolong anak angkatnya.

Perlu memakan waktu yang banyak memikirkan alternatif lain, pelupuk mata yang berair itu terurai kala dia turun, naasnya ada luka membekas di pergelangan tangan dan kaki. Mungkin saat ini berhasil ditutupi, Acacia berharap bisa bertahan sampai pulang sekolah. Waktu yang singkat mempersempit pilihan untuk mengobati lukanya.

Sudah payah, gadis itu menahan tangannya yang kebas, berusaha terlihat sehat. Mau tidak mau, Acacia harus menampilkan kesan khasnya yang biasa dia tunjukkan bila berada di sekolah.

Memperlihatkan kalau dirinya sepadan dengan segala hal yang akan terjadi ke depannya. Duka yang mendarah di aliran nadi itu membentuknya hingga bisa mendewasakan Acacia meski tak sepenuhnya.

Acacia tak akan mengikuti kemauan ataupun pandangan orang. Dia tak akan pernah terpengaruh lagi.

Jadi, mari hadapi apa yang ada di depan mata. Gadis itu akhirnya memasuki gerbang SMA Cempaka, tempatnya menempuh pendidikan selama dua tahun setengah. Ini sudah tahun ketiganya bersekolah di sana, yang artinya sebentar lagi Acacia akan lulus dan mulai bekerja mencari penghasilan.

"Eh, eh, lihat itu ada si anak pembawa malapetaka datang."

"Acacia Calosa? Aku takut, kau mau ikutan kabur tidak? Nanti kita bisa kena sial."

"Sepak terjangnya tak setara dengan parasnya, aku jadi malas menempelinya."

"Kau malah makan es krim. Buat apa dan lepaskan kacamata gaya ini! Hentikan, dasar perusak suasana!"

Suara bisik-bisik mulai terdengar dari mulut adik kelas di sekitar. Acacia acuh tak acuh melewati mereka, dia melengang. Arah tujuannya adalah kelas XII-A Bahasa. Tiba-tiba ada yang menghadangnya.

"Mengapa kau menghalangi jalanku?" Gadis beriris Amber itu menatap tajam sekumpulan orang-orang berpakaian nyentrik yang tengah cekikikan berbisik satu sama lain seraya memandangnya rendah.

"Kau masih punya malu, ya, balik ke tempat ini?" tanya seorang lelaki yang mungkin perwakilan dari geng-geng apalah itu. Acacia tak mau mengingat namanya, yang ada mood-nya bisa hancur dalam sekejap.

"Malu? Ya, aku punya dan hei ... bukankah terlihat bodoh karena tingkah kalian kekanakan? Dan maksud kau apa mengatakan 'tempat ini' seakan-akan aku adalah makhluk yang hina? Sama halnya kalian juga begitu!"

"Apa kau bilang?!"

"Kalian merasa tersindir? Perkataanku benar, kan?" Acacia mengedarkan pandangan, mendengkus malas ketika menangkap tatapan-tatapan yang menusuk.

Akromatopsia; Acacia's World (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang