•19| Cengli (b)

27 25 7
                                    

"Aku juga sama. Mungkin kita akan bisa tahu kebenarannya, kan?" Enia mengulum senyum. Ternyata adiknya sudah tumbuh besar dan kini dapat diandalkan dalam berbagai kondisi, meski dengan keahlian yang tidaklah sama persis. Namun, karena beberapa kali mencium bau anyir membuatnya ingin menggoreskan ujung mata pisau ke kulit korban yang ditargetkan.

"Kau sudah tidak tahan, Kak?" Genara cukup jarang memanggilnya dengan sapaan yang lebih sopan kecuali tiga alasan. Pertama—ketika keadaannya sedang runyam, kedua adalah ketika sedang banyak keinginan, terakhir adalah saat kompak melakukan hal berupa kebiasaan yang sama-sama disenangi. Kalau ditilik kembali, ini lebih condong ke alasan ketiga.

"Sepertinya begitu." Kalau orang lain melihat senyum Enia sekarang, maybe mereka akan berpikir kalau gadis itu sungguh-sungguh tersenyum gembira, tetapi di balik senyum itu mempunyai makna tersembunyi yang hanya sang adik yang mengetahuinya. Yakni arti menandakan berbagai macam plan yang sepadan untuk membantai.

"Sebenarnya tidak banyak yang aku pikirkan, tapi bagaimana kalau kita menambahkan koleksi sejenis pisau dan sebagainya?" Enia memegangi pipi dengan raut wajah risau, Genara mendengkus lelah. Pasti hanya akal-akalannya saja. Apakah ini termasuk tindakan kejahatan jika membunuh satu gadis seperti kakaknya?

"Sepertinya kita kekurangan alat-alat untuk digunakan pada manusia hidup seperti ini. Bisa jadi rumit kalau sidik jari salah satu di antara kau dan aku ketahuan, kan?" Enia menanamkan semacam asumsi-asumsi dari buah pikiran kepada adik kembarnya sejak mereka berdua masih kanak-kanak.

"Maka aku hanya butuh bantuanmu yang lebih pintar dalam urusan ini." Enia mengibas-ngibaskan tangannya seolah paling berkuasa, tetapi Genara memutuskan untuk tak ambil pusing dengan mengangguk patuh, "karena ada adagium yang mengatakan sedia payung sebelum hujan."

"Kau tak berniat berbuat berlebihan pada Acacia, kan, En?" Enia melirik dengan tajam karena pertanyaannya yang terdengar mengintimidasi gadis tersebut, padahal Genara hanya ingin bertanya memastikan tentang firasat yang dirinya rasakan. Apa tak boleh?

Yah, dipikir-pikir tidak mungkin jika Enia terlihat akan mencelakai Acacia yang sudah menolong mereka berdua dari Canaria dan kawan-kawan. Laki-laki itu mengembuskan napas berat, berharap mempertahankan pikiran positifnya tak akan berakhir dengan sebuah penyesalan berkepanjangan.

"Sebab kau yang lebih kaya wawasan dan ilmu pengetahuan daripada aku, ya, dari dulu aku mengakui fakta ini." Apakah saat ini Enia sedang berusaha menjadi seorang 'menjilat' untuk bisa menarik rasa simpati yang dia punya? Bahkan lelaki itu sekarang merasakan kecewa yang berkecamuk dalam hati.

"Kakak, aku tahu kau kesulitan untuk mengendalikan diri tidak menyentuh darah oleh dokter pribadi, tetapi mau bagaimanapun juga Acacia itu tetap teman yang sudah menolongku dan kau dari kejaran penindas." Genara mendekati Enia yang terengah-engah sambil mengasah pisau runcing yang diambil dari dalam tas bernilai mahal yang dibawanya.

"Jangan sampai karena ulahmu, kita jadi kehilangan teman sejati." Genara melihat Enia yang menadahkan kedua tangan ke langit, kemudian mengusap wajah. Lelaki itu mengukir senyuman melihat perjuangan sang kakak yang sekuat tenaga menetapkan kesadaran yang hampir saja hilang.

Mungkin lain kali Genara harus hati-hati ketika memancing 'harimau liar' yang berada di dalam diri Enia supaya terus anteng tanpa menyebabkan hal-hal yang menyemakkan. Seketika dia merasa jera karena nyatanya si kakak belum benar-benar pulih. "Ayo, Kak!"

"Tunggu apa lagi, huh?" Genara yang tidak sabaran terus mendesak Enia agar mau beranjak mengikuti derap langkah dengan tempo cepat masuk ke dalam mobil yang dikendarai sang adik, meski dengan wajah pucat pasi yang sedikit nampak beserta kantung mata yang membesar bak mata panda yang mengganggu.

"Uh, iya. Sabarlah, Nara." Hari sudah semakin menjelang petang, mereka mesti bergegas bertandang ke rumah kediaman Kenanga sebelum langit berwarna jingga kemerah-merahan mulai menggelap, merasakan bahwa waktu berlalu dengan begitu cepat.

"Kau akan terus menggenggam pisau, En? Apakah kau membuatnya terkena serangan jantung?" tanya Genara tak percaya melihat cengiran polos Enia.

****

"Nampaknya mereka berdua sudah berbaikan, Ma." Riana mengangkat kedua alis ketika melihat Kenanga melongokkan kepala di balik pintu masuk dapur, belum berani untuk menghampiri wanita yang sangat berjasa dalam kehidupannya.

"Maksudmu mereka berdua adalah Acacia dan Neandro?" Benar sekali. Pertanyaan Riana dijawab dengan anggukan antusiasme Kenanga yang merasa bahagia sebab kapal miliknya mulai kembali berlayar. Ah, terlebih sepertinya kedua orang itu semakin lama kian intim dan mesra membuat orang lain tambah iri saja.

"Kalau begitu, ide yang kita runding bersama jadi terbuang sia-sia, dong?" Kenanga terdiam membisu saat sang mama membahas soal rencana yang kemarin. Mengapa gadis yang sudah dewasa itu justru melupakan perkara yang cukup spesifik seperti itu? Huh, apakah dirinya terjangkit penyakit pikun di usia yang masih dini?

Acacia memamerkan deretan giginya yang putih pada Riana yang geleng-geleng tidak habis pikir. "Idenya kita tabung saja dulu, Ma. Siapa tahu akan terpakai entah besok, lusa, atau kelak. Mungkin sekarang belum berguna."

Namun, tidak ada yang tahu-menahu tentang masa depan. Manusia boleh berencana, tetapi tetap Tuhan yang menentukan bagaimana akhir kisah dari sebuah perjuangan. "Bagaimana kalau aku ganti bantu Mama?"

Pasti Riana lelah mengemban banyak tanggung jawab mengenai pekerjaan sebagai ibu rumah tangga sendirian tanpa didampingi seorang suami. Itu sesuatu yang pasti tidak mudah buat ukuran wanita yang berusia rentan seperti mamanya, tetapi beruntung Riana mampu bertahan di tengah badai kesulitan yang menerjang.

Sebagai seorang anak, Kenanga salut dan merasa bangga atas pencapaian yang diraih Riana selama mengurus dirinya yang waktu itu masih kecil. Tidak begitu banyak wanita muda yang bisa melakukan sebaik Riana dengan hati seluas samudera.

Lalu setidaknya gadis itu harus selalu berbakti pada orang tua satu-satunya, meski dulu Riana pernah melakukan kesalahan fatal yang membuat otak Kenanga kehilangan fungsi sehingga akhirnya daya ingatannya melemah seiring waktu berjalan. "Jangan, Ken. Nanti tanganmu jadi kasar dan tidak mulus lagi."

"Aku tidak peduli, Ma. Biarlah tangan Kenanga kotor atau jadi kasar, tetapi yang penting Kenanga bisa berbakti dan berbuat baik pada Mama, hehe." Mata Riana memanas, rasa harunya seketika membuncah. Beliau sontak memeluk anak gadis semata wayang miliknya seerat mungkin dan enggan melepaskan. Bagaimana bisa dahulu wanita itu menelantarkan anak yang berhati mulia seperti berlian?

"Kuharap semoga pernikahan dengan calon mempelai priamu bahagia, ya." Kenanga membenamkan wajahnya ke pundak Riana, di hati mengaminkan harapan sederhana beliau. Orang tua tak berharap yang muluk-muluk asal anak yang dirawat tak pelit mengulas senyuman manis.

"Itu sudah jelas, Ma. Akan kubuat Ken bahagia dengan caraku sendiri." Deg. Sebuah suara bariton mengalun lirih di telinga Riana dan Kenanga.

*****
Jumlah kata story': 1026

Tulis dong gimana kesan part ini? Bingung atau ikut terharu? Ayok komen!

See you!

Akromatopsia; Acacia's World (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang